REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Gusdurian Yogyakarta bekerja sama dengan Forum Cik Ditiro menggelar aksi doa bersama di halaman Masjid Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Senin sore (8/9/2025). Aksi ini digelar untuk mendoakan para korban kekerasan aparat saat gelombang demonstrasi sejak akhir Agustus 2025.
Aksi ini dihadiri oleh tujuh pemuka agama di Indonesia, suara rakyat yang diwakili Okky Madasari dari suara perempuan, Masduki dari suara akademisi, mahasiswa, masyarakat, hingga perwakilan dari ojek online (ojol). Ada beberapa rangkaian kegiatan dalam aksi tersebut, panggung budaya, doa bersama, dan pernyataan sikap.
Presidium Gusdurian Yogyakarta, Hamada Hafidzu, mengatakan bahwa aksi tersebut sebagai bentuk solidaritas bersama terhadap para korban gelombang demonstrasi dan kondisi demokrasi di Indonesia. Ia menegaskan, aksi doa bersama ini tidak hanya untuk korban yang meninggal, tapi mereka yang dirawat dirumah sakit hingga mereka yang masih ditahan tanpa adanya kejelasan.
“Suara-suara yang sudah terakumulasi bukan hanya celotehan belaka, tetapi para pemimpin di bangsa ini bisa merespons, mengambil sikap dan tuntutan-tuntutan yang sudah disampaikan oleh masyarakat bisa dipenuhi semuanya,” ungkapnya.
Ia menegaskan pentingnya pengawalan isu-isu sampai tuntas, agar tidak berhenti pada perubahan nama saja, tetapi harus disertai transparansi yang jelas dari pemerintah sehingga bisa dipahami oleh masyarakat. Ia menjelaskan pemilihan halaman Masjid Sunan Kalijaga sebagai aksi doa bersama memiliki simbol agama yang kuat.
"Karena ini juga menjadi simbol agama yang mana di sini kita ingin membawa bahwa agama tidak luput dari gerakan-gerakan kita, bahwa setiap agama mengajarkan untuk selalu mengedepankan keadilan dan kejujuran. Yang mana menjadi modal bersama untuk menghadapi diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah," katanya.
Di sisi lain, novelis dan sosiolog Okky Madasari turut memberikan suara dalam aksi doa bersama. Ia menegaskan, peristiwa tragis demonstrasi di Indonesia menjadi gambaran nyata bahwa Indonesia pada tahap darurat. Ia menegaskan, supaya masyarakat tidak cepat puas terhadap kebijakan baru pemerintah.
“Kita sudah melihat begitu banyak pelajaran, bagaimana pemerintah seringkali hanya bermain gimmick. Tapi kita mencatat bahwa ada respons cepat dari pemerintah. Tapi kita harus ingat tunjangan dewan itu sebenarnya hanya puncak gunung es, akarnya yang harus diperbaiki,” ungkapnya.
Lebih lanjut, tujuh pemuka agama mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Konghucu, Hindu, Budha, dan Penghayat Kepercayaan menyampaikan doa sesuai dengan keyakinan masing-masing. Aksi tersebut ditutup dengan pernyataan sikap Gusdurian Yogyakarta.
Menyikapi hal tersebut, Gusdurian Yogyakarta menyatakan:
1. Bela sungkawa dan duka mendalam yang setulus-tulusnya kepada keluarga, sahabat, dan seluruh rakyat Indonesia atas gugurnya saudara-saudara kita yang kehilangan nyawa saat menyuarakan aspirasi rakyat. Kepada mereka yang terluka dan mengalami kerugian fisik, psikis, material, maupun non material baik di Yogyakarta maupun di berbagai daerah lain di Indonesia.
2. Mendesak presiden untuk menghentikan segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat dan mengusut tuntas segala bentuk pelanggaran HAM khususnya korban kekerasan massa aksi tertanggal 29 Agustus 2025 hingga 1 September 2025.
3. Menuntut presiden untuk melakukan reformasi Polri dan mencopot Kapolri atas tindak kekerasan yang terus terjadi.
4. Menuntut pemerintah untuk mencabut berbagai fasilitas dan tunjangan kepada pejabat pemerintah dan anggota DPR yang tidak berpihak pada rakyat.
5. Menuntut Pemerintah untuk membebaskan semua demonstran, pejuang lingkungan, HAM, dan demokrasi, 6. Menuntut Presiden untuk menarik militer kembali ke barak dan cabut UU TNI.
7. Menuntut pemerintah menegakkan rule of law dan memberantas korupsi yang semakin vulgar dan brutal.
8. Menuntut pemerintah memberikan jaminan sosial gratis bagi semua rakyat.