REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kekhawatiran terhadap arah dan kualitas kebijakan ekonomi nasional mendorong Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) bersama Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan (EQUITAS) FEB UGM menyampaikan 'Tujuh Desakan Darurat Ekonomi' dalam diskusi publik yang diselenggarakan Jumat (19/9/2025).
Ekonom dari LPEM UI, Rizki Nauli Siregar, menyampaikan bahwa kondisi ekonomi saat ini tidak bisa dianggap normal. Apa yang mereka sampaikan ini bukan sekadar rekomendasi, melainkan bentuk peringatan keras atas tanda-tanda melemahnya tata kelola ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Ia melihat ekonomi Indonesia mengalami penurunan kualitas secara sistemik. Tak hanya itu, ketimpangan sosial dinilainya tetap tinggi dan terjadi secara persisten di berbagai dimensi baik antar kelompok, wilayah, maupun demografi.
"Kita sebagai ekonom punya tanggung jawab bersama untuk menyuarakan amanah dari rakyat," ujarnya saat membuka diskusi di FEB UGM, Jumat (19/9/2025).
Rizki kemudian menyinggung akumulasi dari 'kurang amanahnya proses bernegara' telah menciptakan ketidakadilan sosial. Menurutnya, penurunan daya beli masyarakat, menyusutnya lapangan pekerjaan berkualitas, serta ketimpangan yang tetap tinggi menunjukkan bahwa persoalan tidak bisa dianggap sebagai hal yang biasa.
Ia mengungkapkan selama enam tahun terakhir, lapangan kerja yang tercipta cenderung berada di sektor dengan upah rendah, dan banyak pekerjaan formal pun belum memberikan perlindungan dasar seperti asuransi. Sementara data juga menunjukkan tingkat pengangguran pada kelompok usia muda yakni 15–24 tahun masih jauh lebih tinggi dibanding kelompok usia dewasa.
"Generasi muda sulit sekali mengambil pekerjaan yang sesuai. (Kalau ada) itu saja sudah sangat kecil peluangnya," ucapnya.
Ini menjadi sinyal bahaya yang tak bisa diabaikan. Belum lagi ditambah alokasi anggaran yang dinilainya juga menyimpang dari prioritas rakyat.
"Kita melihat ketidakhadiran negara dalam berbagai bentuk," ungkapnya.
"Kenapa tidak digunakan untuk sesuatu yang lebih prioritas atau pemerintahnya tidak tahu prioritasnya apa. Ini sesuatu yang kami pikir salah satu bentuk missalokasi anggaran," ucap dia.
Meski begitu, forum ini ingin mengajak pemerintah, khususnya rezim Presiden Prabowo, untuk memanfaatkan peluang sebagai pemerintahan baru untuk berbenah dan
Dosen FEB UGM, Elan Satriawan mengatakan tujuh desakan yang disampaikan ini bukan dimaksudkan menjatuhkan pemerintah, melainkan bagian dari tanggung jawab moral.
"Apa yang terjadi sekarang ini bukan kesalahan dari rezim yang ada. Ini masalah lama juga. Tetapi kita juga sama-sama mengingatkan ketika masalahnya sudah separah ini, kita nggak bisa tinggal diam," kata Elan.
Ia menyampaikan pemerintahan Prabowo masih memiliki peluang besar, terutama karena saat ini belum genap setahun atau masih dalam fase awal dan memiliki legitimasi kuat dari publik.
Dosen FEB UGM ini menyadari perbaikan ekonomi tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Namun, kata dia, prosesnya bisa dimulai sekarang untuk memperbaiki keadaan jika mampu memanfaatkan momen dan bertindak berdasarkan data serta akal sehat.
"Kita tidak akan naif semuanya harus selesai besok, tetapi yang kita harapkan pemerintahan yang baru ini kemudian melihat permasalahan secara objektif dan menggunakan akal sehat, menggunakan data," ujarnya.
Di sisi lain, Elan menyebut berbagai masalah kelembagaan, khususnya yang berkaitan dengan independensi lembaga-lembaga negara seperti KPK, turut berkontribusi pada stagnasi pembangunan ekonomi nasional.
Menurutnya, persoalan institusi bukan hanya masalah politik, tetapi sudah menjadi faktor penting dalam keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara.
"Masalah institusi ini menjadi bagian instrumental didalam memajukan sebuah perekonomian. Harapannya pemerintah mendengarkan desakan ini kemudian bergerak dan di situlah kemudian mereka akan bergabung dengan elemen-elemen masyarakat lain bersama sekolah-sekolah lain untuk berdiskusi merekomendasikan. How to-nya tadi," ucapnya.
Sementara itu, Dosen Ilmu Ekonomi FEB UGM lainnya, Gumilang Aryo Sahadewo turut menyuarakan keprihatinan atas alokasi anggaran pemerintah yang dinilai belum tepat sasaran.
Ia menyoroti bahwa sejumlah program prioritas, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Sekolah Rakyat, justru menunjukkan gejala missalokasi sejak tahap perencanaan. Gumilang kemudian mengajak publik untuk melihat program-program tersebut dari sisi efektivitas dalam menjawab tantangan pembangunan manusia di Indonesia.
"Kalau kita ingin menelaah lebih lanjut sebenarnya apa sih disasar oleh program MBG atau kemudian apa sih yang ingin diselesaikan dari adanya sekolah rakyat,” katanya.
Lebih jauh, Gumilang mengingatkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pengembangan human capital atau kualitas sumber daya manusia, yang menurutnya masih jauh tertinggal dibanding negara-negara lain di Asia. Seharusnya pemerintah bisa lebih memetakan lagi apa yang menjadi program prioritas dengan tujuan yang jelas yang diarahkan langsung kepada akar permasalahan dalam pembangunan SDM.
"Itulah alasannya kenapa kami betul-betul menekankan isu dari penerapan program-program itu sendiri. Mari kita melihat kembali permasalahan yang ada di missalokasi anggaran tersebut," ucap dia.
Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
Dalam kesempatan ini, Dosen Ilmu Ekonomi FEB UGM, Sekar Utami Setiastuti membacakan tujuh desakan darurat ekonomi tersebut. Pada intinya, ada dua benang merah dari permasalahan perekonomian ini antara lain misalokasi sumber daya yang masif serta rapuhnya institusi penyelenggara negara karena konflik kepentingan dan tata kelola yang tidak amanah.
"Kami menekankan darurat perbaikan yang nyata atas kesejahteraan masyarakat," kata Sekar.
Berikut isi Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
Desakan 1 : Perbaiki secara menyeluruh misalokasi anggaran yang terjadi dan tempatkan anggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional.
Desakan 2 : Kembalikan independensi, transparansi, dan pastikan tidak ada intervensi berdasarkan kepentingan pihak tertentu pada berbagai institusi penyelenggara negara (Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan), serta kembalikan penyelenggara negara pada marwah dan fungsi seperti seharusnya.
Desakan 3 : Hentikan dominasi negara yang berisiko melemahkan aktivitas perekonomian lokal, termasuk pelibatan Danantara, BUMN, TNI, dan Polri sebagai penyelenggara yang dominan sehingga membuat pasar tidak kompetitif dan dapat menyingkirkan lapangan kerja lokal, ekosistem UMKM, sektor swasta, serta modal sosial masyarakat.
Desakan 4 : Deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi dan penyederhanaan birokrasi yang menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi yang kondusif.
Desakan 5 : Prioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan dalam berbagai dimensi.
Desakan 6 : Kembalikan kebijakan berbasis bukti dan proses teknokratis dalam pengambilan kebijakan serta berantas program populis yang mengganggu kestabilan dan prudensi fiskal (seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, sekolah rakyat, hilirisasi, subsidi dan kompensasi energi, dan Danantara).
Desakan 7 : Tingkatkan kualitas institusi, bangun kepercayaan publik, dan sehatkan tata kelola penyelenggara negara serta demokrasi, termasuk memberantas konflik kepentingan maupun perburuan rente.