REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mubasyier Fatah*
Di negeri yang anak-anaknya masih lapar di tengah surplus pangan, program Makan Bergizi Gratis menjadi ujian: apakah negara benar-benar hadir untuk memberi makan — atau sekadar mencari tepuk tangan?
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bukan hanya kebijakan sosial berskala besar—tetapi juga ujian moral bagi bangsa ini.
Bertolak dari niat mulia “tak ada anak Indonesia belajar dalam keadaan lapar”, MBG dirancang untuk menjangkau puluhan juta warga, dari PAUD hingga SMA, termasuk ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.
Namun, di balik slogan “revolusi kemanusiaan”, kita perlu bertanya: apakah program ini sekadar politik karitas, atau suatu wujud politik keadilan yang berpihak pada martabat manusia?
Pertanyaan menjadi kian menukik ketika kita membaca program MBG melalui lensa Maqāṣid al-Syarī‘ah, yakni lima tujuan luhur syariat Islam: menjaga jiwa (hifẓ al-nafs), menjaga akal (hifẓ al-‘aql), menjaga keturunan (hifẓ al-nasl), menjaga harta (hifẓ al-māl), dan menjaga agama (hifẓ al-dīn).
Program MBG dan Tantangan Etis Dana Publik
Program MBG adalah wujud politik karitas yang berskala raksasa. Data resmi dari Kementerian Keuangan dan Badan Gizi Nasional (BGN) menunjukkan bahwa anggaran MBG tahun 2025 mencapai Rp 71 triliun di tahap awal.
Namun, untuk mengejar target 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir tahun, pemerintah menambah alokasi sekitar Rp 100 triliun, sehingga totalnya membengkak menjadi Rp 171 triliun (Kompas.com, 2025).
Tahun 2026, anggaran ini bahkan direncanakan melonjak hampir dua kali lipat, Rp 335 triliun, untuk memperluas cakupan dan memperkuat infrastruktur dapur gizi nasional (Kontan.co.id, 2025).
Hingga Juni 2025, sebanyak 5,5 juta anak dan ibu sudah menjadi penerima manfaat, dengan lebih dari 1.800 dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tersebar di berbagai daerah (Bisnis.com, 2025).
Angka-angka ini memang impresif, tetapi dana sebesar itu bukan hanya persoalan fiskal—ia adalah amanah moral.
Dalam Islam, menjaga jiwa (hifẓ al-nafs) bukan hanya soal menyelamatkan tubuh dari kelaparan, tetapi juga memastikan bahwa kehidupan manusia terlindungi dengan martabat. Alquran menegaskan: “Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 32).
Oleh karena itu, program MBG harus dilihat bukan semata dari efisiensi distribusi makanan, tetapi dari kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab sosial di baliknya. Jika makanan basi, gizi tidak seimbang, atau dana bocor karena permainan birokrasi, maka negara justru gagal menjaga jiwa dalam arti yang paling luhur.
Hifẓ al-Nafs: Menjaga Jiwa dari Kelaparan dan Ketidakadilan
Dana Rp 171 triliun bukan sekadar angka di atas kertas. Ia adalah simbol tanggung jawab negara terhadap 82,9 juta jiwa yang bergantung padanya.
Dalam maqāṣid, hifẓ al-nafs berarti melindungi kehidupan fisik sekaligus moral. Memberi makan anak-anak adalah ibadah sosial, tetapi ketika prosesnya dikotori oleh praktik curang atau mark-up anggaran, maka ibadah itu berubah menjadi dosa sosial.
Laporan di beberapa daerah menunjukkan adanya keterlambatan distribusi dan kualitas makanan yang rendah. Jika fenomena ini terus berlanjut, maka MBG berisiko menjadi ritual populisme tanpa jiwa.
Menjaga jiwa, dalam konteks kebijakan publik, menuntut keberlanjutan dan integritas. Program MBG tidak boleh berhenti di tengah jalan karena masalah fiskal atau pergantian kekuasaan.
Apabila hal itu terjadi, maka jutaan jiwa yang sudah bergantung padanya akan kehilangan hak dasar mereka untuk hidup sehat dan bermartabat.
Hifẓ al-‘Aql: Gizi, Akal, dan Moralitas
Setelah urusan perut, syariat menuntun kita pada urusan pikiran — karena akal yang lapar tak mungkin melahirkan ilmu.
Islam menempatkan akal pada posisi istimewa. Akal yang sehat adalah pintu ilmu dan iman. Maka, menjaga akal berarti memastikan bahwa anak-anak tumbuh dengan gizi yang cukup dan pikiran yang cerdas.
Dana besar MBG harus menjamin kualitas gizi yang benar—bukan sekadar kenyang, tetapi menumbuhkan kecerdasan. Biaya sekitar Rp 10.000–15.000 per porsi (Kobaran.com, 2025) memang terjangkau, namun pertanyaannya: apakah cukup untuk memenuhi standar gizi lengkap yang direkomendasikan WHO?
Lebih dari itu, menjaga akal juga berarti mendidik kesadaran moral. Anak-anak penerima MBG seharusnya belajar bahwa makanan berasal dari jerih payah dan kasih sayang masyarakat—bukan dari kemurahan hati politisi.
Program MBG bisa diintegrasikan dengan pendidikan karakter: mengajarkan rasa syukur, kebersihan, tanggung jawab, dan kejujuran.
Tanpa dimensi moral ini, MBG akan melahirkan generasi yang sehat secara tubuh, tetapi miskin secara etika. Padahal, akal yang tercerahkan adalah gabungan antara intelek dan nurani.
Hifẓ al-Nasl: Membangun Generasi Sehat dan Mandiri
Maqāṣid ketiga, hifẓ al-nasl, menekankan tanggung jawab terhadap kualitas keturunan. MBG bukan hanya untuk anak sekolah, tetapi juga menyasar ibu hamil, menyusui, dan balita, kelompok paling rentan terhadap stunting dan gizi buruk (Antaranews.com, 2025).
Jika program ini berjalan baik, dampaknya bersifat intergenerasional: anak-anak tumbuh sehat, ibu kuat, dan generasi berikutnya terbebas dari rantai kemiskinan gizi.
Namun, jika program ini hanya menjadi proyek politik, maka hasilnya adalah generasi ketergantungan—yang tumbuh dalam budaya “menunggu bantuan negara”, bukan budaya kerja keras dan kemandirian.
Dalam maqāṣid, menjaga keturunan berarti membangun generasi berdaya, bukan hanya generasi penerima bantuan.
Oleh karena itu, MBG harus dihubungkan dengan pemberdayaan petani lokal dan UMKM pangan, agar program ini tidak hanya memberi makan, tetapi juga menghidupkan ekonomi rakyat.
Hifẓ al-Māl: Amanah Dana Publik dan Transparansi
Menelan total anggaran yang bisa menembus Rp 335 triliun pada 2026, program MBG adalah proyek keuangan publik terbesar dalam sejarah sosial Indonesia.
Dalam Islam, harta publik adalah amanah Tuhan dan rakyat. Alquran memperingatkan: “Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang batil.” (QS. Al-Baqarah [2]:188).
Artinya, setiap rupiah dari dana MBG harus dipertanggungjawabkan. Transparansi dan audit publik bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi ibadah moral (ta‘abbudiyyah ijtimā‘iyyah).
Kementerian dan BGN harus membuka data penerima, mekanisme tender, dan laporan keuangan secara berkala. Bahkan, partisipasi masyarakat dan lembaga agama dapat diperkuat untuk mengawasi pelaksanaan di lapangan.
Jika dana publik sebesar itu bocor, bukan hanya harta yang hilang—tetapi juga kepercayaan publik dan martabat bangsa.
Hifẓ al-Dīn: Ruh Ibadah dalam Kebijakan Publik
Akhirnya, maqāṣid tertinggi adalah hifẓ al-dīn—menjaga agama, yakni memastikan seluruh kebijakan publik dijalankan dengan niat ibadah dan keadilan.
Dalam konteks MBG, menjaga agama berarti memastikan bahwa kebijakan ini berlandaskan nilai rahmah (kasih sayang) dan ‘adl (keadilan), bukan sekadar alat politik kekuasaan.
Negara yang memberi makan anak miskin sejatinya sedang menegakkan perintah Tuhan untuk menolong sesama. Namun, bila kebijakan itu dijadikan alat pencitraan, maka agama justru dijadikan topeng kekuasaan.
Selain itu, hifẓ al-dīn juga mencakup aspek halal dan thayyib: makanan harus bersih, halal, bergizi, dan ramah lingkungan. Jangan sampai program yang diniatkan suci justru menimbulkan mudarat karena pengadaan bahan makanan tidak higienis atau tidak sesuai standar syariah.
Maqāṣid dan Kebijakan Modern: Dari Niat ke Struktur
Ulama maqāṣid kontemporer seperti Jasser Auda (2008) menegaskan bahwa maqāṣid bukan hanya doktrin etika, melainkan kerangka sistemik untuk menilai kebijakan publik.
Sebuah kebijakan disebut maqāṣidik bila memenuhi tiga misi utama yaitu, pertama, menjaga nilai dasar kemanusiaan; kedua, menegakkan keadilan dan kesejahteraan publik; dan ketiga, menjamin keberlanjutan.
Dalam kerangka ini, MBG masih berada di persimpangan antara niat dan struktur. Secara niat, program ini memenuhi maqṣad menjaga jiwa dan keturunan. Tetapi secara struktur, masih ada persoalan tata kelola, transparansi, dan integrasi moral.
Dana sebesar Rp 335 triliun bukan hanya harus “memberi makan”, tetapi juga menumbuhkan nilai—kejujuran, kebersamaan, tanggung jawab, dan spiritualitas publik.
Dari Simbol ke Substansi
MBG adalah simbol cinta negara kepada rakyatnya. Tetapi cinta sejati bukan hanya memberi makan; cinta sejati memastikan bahwa yang diberi makan hidup dengan martabat dan nilai.
Dalam kerangka Maqāṣid al-Syarī‘ah, MBG akan bermakna hanya bila benar-benar menjaga jiwa dari kelaparan dan kebohongan, menjaga akal dari kebodohan, menjaga keturunan dari stunting, menjaga harta dari korupsi, dan menjaga agama dari politisasi.
Apabila setiap anak Indonesia makan dari tangan yang jujur, dari dapur yang bersih, dari niat yang tulus—maka negara tidak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga membangun akhlak: moral dan spiritualitas bangsa.
Itulah tujuan sejati syariat: menghadirkan kehidupan yang sehat, sejahtera, adil, dan penuh kasih di bawah cahaya Ilahi.
Program sebesar MBG hanya akan bermakna jika ia mengubah politik karitas menjadi etika keadilan — dari kebijakan memberi makan, menuju kebijakan memuliakan manusia.
*: Bendahara Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU)