REPUBLIKA.CO.ID, SALATIGA -- Sumber kepemimpinan nasional di Indonesia kerap bergeser dari masa ke masa. Pada masa pergerakan kemerdekaan para pemimpin bangsa kebanyakan berasal dari para intelektual pejuang. Sementara era Orde Baru, rekrutmen pemimpin ditentukan latar belakang perwira militer berprestasi di tubuh ABRI (TNI).
Era reformasi berasal dari para aktivis demokrasi dan partai politik. Sementara era pascareformasi para pemimpin berasal dari komunitas pengusaha. Koordinator Perkumpulan Kader Bangsa, Dimas Oky Nugroho menganggap, pergeseran situasi sosial ekonomi politik ke depan lebih menempatkan sosok pemimpin yang berasal dari kalangan kewirausahaan sosial.
Menurut Dimas, ciri khas generasi pemimpin yang berasal dari era kewirausahaan sosial bukan hanya mengincar profit bisnis untuk diri atau kelompoknya saja, melainkan mereka juga memiliki cita-cita idealis. Mereka memiliki keinginan agar dapat berkiprah maju, memiliki pekerjaan mandiri dan pendapatan berkelanjutan.
"Serta peduli terhadap problem sosial di sekitar mereka, serta mencoba menawarkan solusi melalui cara-cara kolaboratif dan sharing economy," kata Dimas saat bertemu sejumlah pimpinan organisasi kepemudaan dan komunitas kreatif dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Lakpesdam NU Salatiga, Kota Salatiga, Jawa Tengah, dalam siaran, Sabtu (3/4).
Mantan Staf Khusus Kantor Staf Presiden tersebut menganggap, sistem rekrutmen dan kaderisasi kepemimpinan yang dilakukan pemerintah era Orde Baru sebenarnya memberikan proses keteraturan dan kepastian. Pada era demokrasi, sambung dia, peluang muncul pemimpin nasional lebih terbuka dan menjamin adanya partisipasi secara lebih luas serta tidak eksklusif.
"Tidak 4L lo lagi lo lagi. Muncul aktivis, intelektual, ormas, politisi sipil, santri ulama dan juga pengusaha seperti Pak Jokowi. Meski akhir-akhir ini banyak peristiwa yang membuat wajah demokrasi kita cenderung rapuh akibat dominannya logika kekuatan riil politik ketimbang idealisme politik yang dilakukan oleh berbagai kekuatan yang bermain," ujar Dimas.
Peraih doktor politik UNSW Sydney tersebut mengatakan, era demokrasi belakangan ini, beban terbesarnya adalah biaya tinggi dan pragmatisme politik yang memunculkan politik transaksional dan korupsi. Era media sosial dan politik digital, sambung dia, juga membawa resiko politik berupa potensi keterbelahan, kesenjangan, dan ekstremisme sosial dalam masyarakat.
Dimas menilai, tren ke depan adalah kemunculan anak muda berlatar kewirausahaan sosial yang masuk dalam kancah kontestasi politik berupaya menawarkan solusi inklusif kepada masyarakat. Dia menyebut, sosok Wali Kota Makassar Danny Pomanto, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, dan Wagub Jatim Emil Dardak adalah sosok yang bukan murni berlatar politisi, birokrat, atau pengusaha.
"Mereka adalah profesional atau pegiat sosial ekonomi yang memiliki kepedulian sosial dan berjuang dalam jalur politik menawarkan transformasi," ujar Dimas.
Ketua Lakpesdam NU Salatiga, Ilyya Muhsin, menyoroti ancaman terkini dalam proses rekrutmen kepemimpinan bangsa. Menurut dia, hal tersebut datang dari fenomena intoleransi dan radikalisme beragama di kalangan anak muda.