REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menjamin obat dan makan bagi warga yang dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan rapid antigen. Jaminan itu sebagai bagian dari standar perawatan Covid-19 bagi warga yang dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan hasil rapid antigen.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, standar tersebut akan langsung diterapkan tanpa harus menunggu hasil Tes Swab PCR keluar. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mencegah klaster Covid-19 di lingkungan keluarga.
Eri menginstruksikan kepada seluruh Puskesmas di 31 kecamatan untuk menerapkan standar penanganan Covid-19 tersebut kepada warga yang hasil rapid antigennya positif. Ketika ada warga yang hasil rapid antigennya positif, Pemkot akan langsung memberi obat-obatan, vitamin, dan permakanan.
"Jadi tidak harus menunggu hasil swab PCRnya keluar," kata Eri di Surabaya, Selasa (20/7).
Eri mengimbau kepada seluruh warga Surabaya apabila mengalami gejala batuk maupun flu, supaya segera memeriksakan diri ke Puskesmas. Selain dilakukan pemeriksaan kesehatan, warga tersebut juga bakal dilakukan rapid antigen.
"Kalau ada yang sakit misal batuk atau flu, saya harap agar bisa langsung ke Puskesmas. Ketika ada yang batuk flu, langsung dilakukan pemeriksaan rapid antigen," ujarnya.
Nantinya, kata dia, apabila hasil rapid antigen positif, warga tersebut diharapkan berkenan untuk menjalani isolasi ke Rumah Sakit Lapangan Tembak (RSLT), Asrama Haji, atau tempat-tempat yang telah disediakan Pemkot Surabaya. Utamanya, bagi warga yang rumahnya kurang layak untuk dijadikan tempat isolasi mandiri.
"Makanya saya punya kebijakan kalau rapid antigen positif, langsung ditarik isolasi agar jangan di dalam rumah. Karena Covid-19 ini bukan aib, tapi penyakit yang bisa disembuhkan. Kita harus semangati mereka," ujarnya.
Eri juga berpesan kepada warga apabila melakukan rapid antigen mandiri dan hasilnya positif, supaya segera melaporkan ke Puskesmas maupun rumah sakit. Harapannya, warga tersebut bisa segera mendapat perawatan untuk mencegah terjadinya klaster di lingkungan keluarga.
"Karena masih saja ada warga yang merasa penyakit ini adalah sebuah aib sehingga mereka takut untuk melaporkan ataupun memeriksakan diri ke Puskesmas atau rumah sakit," kata dia.