REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak memaparkan berbagai tantangan dalam menanggulangi pandemi. Di level masyarakat, Emil memetakan adanya tiga kelompok masyarakat yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Yaitu mereka yang memiliki persepsi berbeda terkait Covid-19, pengabaian (ignorance), dan penolakan (denial).
Pertama, kata dia, merujuk pada mereka yang menganggap Covid-19 tidak nyata. Kedua, kelompok yang percaya tapi suka lalai dan teledor. Adapun kelompok terakhir adalah mereka yang memang sengaja untuk menolak bersama-sama menghadapi Covid-19.
“Adanya 3 pola kelompok ini terbukti dari adanya orang-orang yang takut di-covid-kan, sehingga mereka tidak mau datang ke rumah sakit,” kata Emil dalam acara webinar Lean On bertajuk “Pelacakan Kontak Mengoptimalkan Dukungan Masyarakat dalam 3T” yang digelar BNPB dan INVEST DM, Selasa (3/8).
Emil berpendapat, istilah di-covid-kan sebenarnya berlebihan. Ketika ada korban kecelakaan misalnya, demi menjaga keselamatan bersama, maka ia harus dites dulu sebelum ditangani. Hasil tes korban kecelakaan bisa beragam. Ada yang positif Covid-19, dan ada juga yang negatif.
"Di waktu yang sama ada pihak yang berlebihan, sehingga selalu mengungkit yang positif tadi. Akibatnya, muncullah istilah di-covid-kan,” ujarnya.
Di level yang berbeda, lanjut Emil kepatuhan pada gerakan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3M), vaksinasi, dan kemauan masyarakat untuk berobat masih juga menjadi tantangan.
Adapun, strategi Pemprov Jawa Timur dalam menghadapi tiga model kelompok masyarakat tersebut adalah dengan menggunakan metode pendekatan kepada masyarakat. Strategi lainnya adalah memperbesar suara yang setuju dan tidak menolak, serta melalui ketokohan seseorang.
Sosiolog Bencana, Sulfikar Amir mengatakan, elemen penting untuk mengatasi pandemi Covid-19 adalah dengan memassifkan 3T, utamanya tracing atau penelusuran kontak erat. Ia menyebut, pelacakan kontak bukan saja tentang melacak siapa yang penah berinteraksi dengan seseorang yang positif Covid-19, namun juga berhubungan erat dengan ikatan sosial.
Pasalnya, kata Sulfikar, wabah yang sedang dihadapi saat ini penularannya melalui interaksi fisik, sehingga penanganannya membutuhkan intervensi sosial. Jaga jarak dan pelacakan adalah contoh dari intervensi sosial yang karena demikian beberapa pembacaan sosiologis diperlukan untuk bisa melampui pandemi Covid-19.
“Sederhananya, untuk mengatasi mengapa misalnya masyarakat masih susah menggunakan masker atau bagaimana caranya agar pelacakan bisa dilakukan masyarakat, maka kita harus melakukan analisis-analisis sosiologis terlebih dulu,” ujarnya.
Pelacakan, kata dia, adalah napas dari penanganan pandemi. Bahkan, lanjutnya, ketika pemerintah Indonesia bisa efektif di pelacakan ini, maka tidak perlu diterapkannya PPKM. “Tapi, kenyataannya kita semua masih berjuang ke arah itu. Dalam arti sistemnya belum terbangun baik, sehingga penggunaan masker dan jaga jarak tetaplah diperlukan,” kata dia.