REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pada tahun 2016, terdapat 904 laporan kasus cyberbullying yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Bahkan, 80 persen pelajar SMA yang disurvei pada pernah menjadi korban. Maka dari itu, fenomena ini harus mendapatkan perhatian sangat serius.
Dosen Sosiologi UGM, Desintha Dwi Asriani menemukan, responden remaja dalam kelompok usia pendidikan SMA lebih banyak melakukan cyberbullying baik dalam bentuk exclusion maupun denigration, dibandingkan mereka yang masih kelompok SMP.
Ia menjelaskan, semakin positif sikap terhadap cyberbullying, kecenderungan melakukan semakin meningkat. Bahkan, ada keyakinan kalau perilaku itu diterima orang-orang sekitar, ada kecenderungan melakukan cyberbullying semakin tinggi.
Kemudian, ada kondisi orang tua memberi perangkat gawai pribadi dan kebebasan menggunakan kepada remaja. Secara umum, orang tua tidak melakukan pengawasan ketat, namun tetap berusaha memberikan pendampingan dengan pendekatan personal.
Desintha menekankan, meski tidak terlalu terlibat aktif di media sosial dari remaja, mayoritas orang tua yang mengerti tentang cyberbullying dan dampaknya bagi remaja. Namun, tidak banyak yang mengerti harus apa jika anaknya terlibat.
"Karena, di satu sisi orang tua tidak punya ekspektasi anaknya menjadi pelaku, itu jadi satu masalah yang lebih kompleks dari kelompok orang tua," kata Desintha dalam diskusi daring yang digelar CfDS UGM, Kamis (16/9).
Ia menyarankan, perlu ada peningkatan kesadaran dan pemahaman publik tentang cyberbullying. Perlu pula tingkatkan kesadaran publik tentang dampak negatif cyberbullying. Serta, pengetatan kebijakan dari pemangku kebijakan terkait.
"Mujudkan kolaborasi lintas institusi dan aktor dari berbagai level untuk memberantas tindakan cyberbullying," ujar Desintha.
Koordinator Sejiwa Program, Andika Zakiy menuturkan, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat setengah pengguna telah mengalami cyberbullying. Bahkan, 31,6 persen pihak yang dirundung didapati membiarkan tindakan pelaku.
Ia mengingatkan, cyberbullying terjadi bisa secara sengaja dan tidak sengaja. Penyebabnya antara lain ada perhatian yang didapatkan setelah melakukan, dan adanya ketidakpuasan pelaku itu sendiri terhadap kehidupan yang dialaminya.
Andika menekankan, pihak-pihak yang terlibat cyberbullying ada pelaku, korban dan saksi. Dampa cyberbullying berupa rasa malu dan trauma, takut melakukan aktivitas sosial, sulit menghapus jejak digital, merasa tidak ada harga diri.
Selain itu, dalam beberapa kasus korban cyberbullying memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup. Ini yang sekarang harus diperhatikan karena dampaknya baru terlihat ketika sudah ada efek terhadap diri korban, karena terjadi di maya.
"Apakah anak-anak kita terbuka ketika menjadi korban dan apa orang tua tahu apa yang dilakukan ketika anaknya jadi korban. Ternyata, kebanyakan orang tua tidak tahu dan kebingungan yang harus dilakukan kalau anak mereka yang jadi korban," ujar Andika.
Fungsional Perencana Muda Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KemenPPPA, Fitra Andika Sugiyono menerangkan, KemenPPPA memiliki kanal-kanal untuk untuk menangani cyberbullying. Pertama, Pusat Informasi Sahabat Anak (PISA).
Kemudian, ada Sapa 129 yang merupakan telfon sahabat perempuan dan anak. Kemen PPPA terus pula melakukan sosialisasi pelatihan hak dan perlindungan anak, lalu membentuk Forum Anak di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan desa.
Selain itu, ada konten-konten yang bisa dituju ketika melihat atau mengalami cyberbullying. Ada bully.id, aduankonten.id, patrolisiber.id, kamiberlian.id, dan Electronic Kit for Learning on Emergency Pandemic and Offline Network (E-Klepon).
Ia menambahkan, seorang teman perlu tunjukkan karakter terbaiknya, menggunakan bahasa yang baik ketika berbicara, hargai perbedaan yang terjadi, ada di sana bagi teman-teman yang butuh pertolongan dan harus berani berbicara melaporkan
"Jangan pernah takut menegakkan kebenaran karena hanya dengan itu kita bisa menghentikan cyberbullying," kata Fitra.