REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Keputusan pemerintah merestui merger antara PT Indosat Tbk (Indosat) dengan PT Hutchison (Tri) dinilai merupakan langkah yang tepat, terutama untuk mendorong proses efisiensi industri telekomunikasi dan mempercepat transformasi digital di Indonesia.
Namun yang menjadi sorotan, perusahaan hasil merger harus mengembalikan frekuensinya ke pemerintah. "Jangan sampai terjadi kesalahan yang membuat Indosat dan Tri teriak komplain karena merasa terzalimi. Kalau mereka teriak komplain, pemerintah pasti akan gelagapan," kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI), Ditha Wiradiputra, dalam siaran pers, Kamis (18/11).
Dhita menegaskan bahwa jika keputusan yang dibuat pemerintah kemudian mempersulit perusahaan telekomunikasi, pasti tidak akan menguntungkan. Pasalnya, saat ini pemerintah sedang mendorong transformasi digital sekaligus mengedepankan semangat Omnibus Law untuk menggenjot investasi. "Jadi jangan sampai terkesan lips service saja," ujarnya.
Terkait persyaratan merger dari Kemenkominfo untuk penambahan site layanan hingga 2025 sesuai dengan jumlah desa dan kelurahan belum terlayani yang diajukan dalam proposal, Dhita melihat sebagai sesuatu yang harus dipenuhi oleh Indosat dan Tri. Hal ini tak lepas dari komitmen perusahaan ketika mengajukan proposal untuk memperoleh frekuensi, terutama dalam pembangunan dan pengembangan infrastruktur jaringan hingga pelosok daerah.
"Wajar jika pemerintah menanyakan dan meminta agar Indosat dan Tri memenuhi komitmennya, membangun infrastruktur sehingga frekuensi yang dimilikinya bisa dimanfaatkan secara maksimal. Jangan sampai ada frekuensi yang penggunaannya mubazir," ujarnya.
Ia menegaskan, perlu dicatat bahwa frekuensi tersebut bukan punya perusahaan. "Frekuensi ini punya negara. Negara meminjamkan ke perusahaan telekomunikasi berdasarkan kemampuan yang dimiliki," katanya.
Tak hanya itu, Dhita menegaskan bahwa langkah konsolidasi Indosat dan Tri ini memberi keuntungan bagi perusahaan. "Konsolidasi ini akan memperkuat struktur permodalan, SDM, management dan kecepatan dalam pengambilan keputusan bisnis, khususnya Capex dan Opex dalam pembangunan infrastruktur TIK khususnya di wilayah-wilayah yang saat ini belum selesai dibangun. Konsolidasi ini juga diharapkan dapat mendukung pemanfaatan teknologi baru dan memulai 5G deployment di Indonesia," ujarnya.
Hal senada disampaikan pengamat telekomunikasi yang menilai Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus law) tidak memberikan manfaat dalam mendukung proses merger Indosat-Tri. Regulasi yang harusnya memberi kepastian soal pengalihan spektrum frekuensi pascamerger, nyaris tak berfungsi.
Ini karena frekuensi 5 MHz Indosat Ooredoo Hutchison tetap harus dikembalikan ke pemerintah. Apa yang terjadi pada merger Indosat-Tri sama dengan saat merger XL Axiata-Axis Telekom Indonesia beberapa tahun lalu sebelum ada UU Ciptaker.
"Ini memberikan tanda bahwa UU Cipta Kerja nyaris belum memberikan perubahan signifikan dalam industri telekomunikasi di Indonesia," kata Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi.