REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh seorang pria asal Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, berinisial NY, kepada anaknya yang masih di bawah umur merupakan bentuk nyata dari terjadinya relasi kuasa. Relasi kuasa ini terjadi ketika ada seseorang yang menyalahgunakan posisinya untuk menekan pihak lain di bawahnya demi mendapatkan apa yang diinginkan.
"Dalam hal ini, ayah korban yang notabene posisinya lebih tinggi daripada anaknya dalam hierarki keluarga di rumah kemudian menyalahgunakan posisi itu untuk menekan dan memaksa anak yang usianya masih di bawah umur untuk memenuhi keinginannya," kata Psikolog Universitas Ahmad Dahlan, Ega Asnatasia Maharani, kepada Republika beberapa waktu lalu.
Ega menyebut, paling tidak ada dua indikator yang jelas dilakukan oleh pelaku dalam relasi kuasa yang pada akhirnya menimbulkan tindak pidana pencabulan ini. Yang pertama, tindakan ini sudah dilakukan berulang kali, artinya pelaku memiliki kesempatan dan kemampuan untuk terus melakukan manipulasi terhadap korban.
Yang kedua adalah ketika si anak sudah mencoba untuk melakukan perlawanan dengan menolak, ia justru diancam. Ancaman ini dilakukan oleh pelaku melalui teror ‘lembut’ bahwa korban perlu memenuhi kewajibannya sebagai seorang anak.
"Si anak sendiri saya lihat dia mulai menjadi korban di usia sekitar 11 tahun, pada usia ini anak-anak memang masih sangat membutuhkan pengakuan dan penghargaan kasih sayang dari orang tua sebagai figur lekatnya. Sehingga apapun yang dikatakan orang tuanya, si anak menurutinya karena ingin menyenangkan dan menghormati mereka," kata Ega.
Untuk kasus seperti ini sendiri sangat urgent bahwa langkah berikutnya adalah melakukan pendampingan terhadap korban. Pendampingan ini dilakukan untuk mendukung korban. Artinya pendampingan perlu fokus pada pemulihan mental. Jangan sampai pendampingannya justru lebih ke arah bagaimana caranya supaya kasus ini tidak sampai ke ranah hukum atau membuka aib salah satu pihak.
"Kita perlu memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan, baik secara hukum maupun secara psikologi," kata Ega.
Menurut Ega, langkah pertama yang perlu dilakukan ketika terjadi kasus seperti ini yaitu menjauhkan korban dari lingkungan yang bagi dia merupakan ancaman. "Karena ini terjadinya banyak di rumah, maka bisa jadi rumah itu adalah situasi yang mengancam bagi anak. Sehingga akan lebih bagus jika menjauhkan anak dari situasi yang mangancam ini dulu, jadi kita pulihkan di tempat yang netral," kata Ega.
Selain itu, secara sosial, anak juga harus dilindungi sehingga dia tidak mendapat stigma negatif karena seringkali pada kasus seperti ini yang justru mendapat stigma adalah perempuan dan juga korban. Sehingga lingkungan sekitar anak harus dikondisikan pula untuk tidak memberikan stigma ini itu dengan cara tetap memberikan kesempatan pada anak untuk menempuh pendidikannya kemudian bersosialisasi sewajarnya.
"Ini penting sekali agar anak bisa tetap menumbuhkan konsep diri yang positif lagi meskipun dia pernah mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan," ujar Ega.
Sebelumnya, Kepolisian Resor (Polres) Bantul mengamankan seorang tersangka kasus tindak pidana pencabulan berinisial NY (50). Pria asal Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, DIY tersebut melakukan tindak pidana pencabulan kepada anaknya yang masih di bawah umur dan adik iparnya sendiri.
Kapolres Bantul, AKBP Ihsan SIK mengatakan, pelaku diamankan pada Selasa (4/1) kemarin. Ihsan menjelaskan, pencabulan terhadap anaknya sendiri ternyata sudah dilakukan berulang-ulang sejak anak berinisial FD (17) tersebut menginjak kelas lima SD.
"Kalau keterangan dari korban setelah kita periksa, (tersangka) melakukan pencabulan lebih dari lima Kali (saat SD). Berlanjut saat korban menginjak kelas satu SMP lebih kurang tujuh kali dan berlanjut lagi saat korban saat sudah memasuki (pendidikan) di tingkat SMK," kata Ihsan di Mapolres Bantul, Rabu (5/1).