REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Komisi D Bidang Kesra DPRD Kota Surabaya meminta dinas kesehatan setempat menggalakkan mobile VCT atau Tes HIV pada populasi berisiko di Kota Surabaya, Jawa Timur pada 2022. "Kami optimistis di tahun 2022, Kota Surabaya bisa nol angka HIV selama ada kerja sama yang baik," kata Anggota Komisi D DPRD Surabaya Tjutjuk Supariono di Surabaya, Senin (17/1/2022).
Menurut Tjutjuk, tes HIV perlu digalakkan karena data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur menunjukkan bahwa Kota Surabaya menjadi kota dengan kasus baru HIV/AIDS tertinggi se-Jawa Timur pada 2021. Tercatat sebanyak 323 pasien AIDS baru di Kota Surabaya, disusul Kabupaten Banyuwangi 186, dan Jember sebanyak 174. "Karena itu, kami minta Dinkes Surabaya agar penanganan kasus HIV/AIDS di 2022 lebih diperhatikan," katanya.
Tjutjuk juga mengingatkan bahwa Surabaya mempunyai target Three Zero 2030 yakni tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian karena AIDS, dan tidak ada diskriminasi di tahun 2030. Ia menilai bahwa Informasi dan sosialisasi terkait HIV/AIDS pada masa pandemi Covid-19 ini tidak berjalan dengan baik, terutama pendidikan seksual untuk anak-anak sekolah.
"Saya memahami penanganan COVID-19 merupakan prioritas utama, tapi bukan berarti kita bisa mengesampingkan permasalahan lainnya. Apalagi kasus HIV/AIDS di Kota Surabaya ini tertinggi di Jawa Timur," ujarnya.
Menurut dia berdasarkan laporan Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan RI, selama pandemi Covid-19 tahun 2020, telah terdeteksi 50.626 kasus HIV/AIDS. Angka ini berpotensi lebih tinggi, sebab estimasi kasusnya adalah sebanyak 640 ribu.
Kasus yang tidak terdeteksi ini, lanjut dia, dapat menjadi rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual berisiko. Sementara itu, tercatat kasus HIV tertinggi adalah umur 20 hingga 29 tahun.
"Maka, dari sini bisa dilihat bahwa penularan HIV sudah terjadi pada masa remaja atau anak yang umurnya kurang dari 20 tahun," katanya.
Legislator PSI ini mengaku prihatin dengan adanya data tersebut, sebab mayoritas kasus ini terjadi pada anak-anak muda. Hal ini, lanjut dia, bisa dikatakan bahwa pendidikan seksual sejak dini yang kurang efektif dan juga kurang didukung oleh media massa. Terutama terkait dengan penggunaan kontrasepsi yang menyebabkan kebijakan pemerintah menjadi tidak tegas dan terkesan abu-abu.
Selain itu, lanjut dia, di lingkungan kerja, pemanfaatan digitalisasi dan media sosial, advokasi publik dan serikat pekerja serta sosialisasi program HIV untuk perusahaan juga perlu secara gencar dilaksanakan."Tidak hanya untuk mengurangi angka HIV, namun juga untuk mematahkan stigma dan diskriminasi pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)," ujarnya.