Senin 14 Feb 2022 08:01 WIB

Pemerintah Diminta tak Sembarangan Cap Hoaks Insiden Wadas

Polisi membuat narasi bahwa ada warga yang membawa senjata tajam dan diamankan polisi

Rep: Ali Mansur/ Red: Fernan Rahadi
Aparat Kepolisian berjaga di akses masuk menuju Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Diketahui, pada Selasa (8//2/2022) kemaren 63 orang khususnya 56 warga Wadas ditangkap kepolisian. Para warga yang ditangkap adalah mereka yang bersikeras menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu adesit. Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 124 hektar.Batu andesit yang ditambang dari Desa Wadas ini sedianya akan digunakan sebagai material untuk pembangunan Waduk Bener yang lokasinya masih berada di Kabupaten Purworejo.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Aparat Kepolisian berjaga di akses masuk menuju Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Diketahui, pada Selasa (8//2/2022) kemaren 63 orang khususnya 56 warga Wadas ditangkap kepolisian. Para warga yang ditangkap adalah mereka yang bersikeras menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu adesit. Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 124 hektar.Batu andesit yang ditambang dari Desa Wadas ini sedianya akan digunakan sebagai material untuk pembangunan Waduk Bener yang lokasinya masih berada di Kabupaten Purworejo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meminta pemerintah agar tidak sembarangan memberikan cap atau stempel hoaks terhadap insiden yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Peristiwa pengamanan berlebihan yang disertai kekerasan dan penangkapan ini menjadi sorotan media massa, tapi sayang justru pemerintah mengecapnya sebagai berita bohong.

"Pemerintah terlihat berupaya mendistorsi berita terkait pengamanan berlebihan, kekerasan, dan penangkapan yang dilakukan aparat. Hal tersebut setidaknya tergambar dalam konferensi pers yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD di Jakarta pada Rabu (9/2)," ujar Ketua AJI Sasmito dalam keterangan tertulisnya di laman resmi AJI, dilihat pada Ahad (13/2).

Bahkan akun media sosial Humas Polri juga memberikan stempel serupa pada konten milik Wadas Melawan. Polisi membuat narasi bahwa ada warga yang membawa senjata tajam dan diamankan polisi. Padahal media mainstream melaporkan bahwa senjata tajam yang dibawa warga merupakan alat untuk mencari rumput pakan ternak.

"Melihat sejumlah fakta tersebut, AJI Indonesia menyerukan Pemerintah untuk menghentikan pelabelan hoaks peristiwa di Wadas yang sewenang-wenang dan berdasarkan klaim yang dianggap sesuai dengan narasi yang diharapkan aparat," kata Sasmito menegaskan.

Sasmito melanjutkan, Jaringan Pengecekan Fakta Internasional mengharuskan adanya prinsip-prinsip. Mulai dari komitmen nonpartisan dan keadilan, komitmen transparansi atas sumber, transparansi metodologi (pengecekan fakta), serta komitmen atas koreksi yang terbuka dan jujur.

Sasmito juga mendorong agar pers nasional menjalankan fungsi kontrol sosial seperti diamanatkan Undang-undang Pers. Termasuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Seperti pembangunan proyek Bendungan Bener yang berdampak kepada warga Wadas.

"Pers nasional untuk memberikan suara kepada mereka yang tidak bisa bersuara. Sebab hanya pers yang mendapat jaminan perlindungan UU Pers, yang dapat menjadi juru bicara publik saat berhadapan dengan pemerintah atau penguasa," tutur Sasmito.

AJI juga menyerukan, agar jurnalis bersikap independen dan menghasilkan berita yang akurat terkait peristiwa di Wadas. Independen dapat diartikan memberitakan peristiwa atau fakta tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan. 

"Sedangkan akurat berarti sesuai keadaan objektif peristiwa tersebut dan telah diverifikasi berlapis, tidak hanya sekedar mengutip pernyataan pejabat atau narasumber tertentu," tutup Sasmito. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement