Selasa 15 Mar 2022 17:38 WIB

Penundaan Pemilu Disebut Ingkari Kedaulatan Rakyat

Jika pemilu ditunda maka akan memperpanjang masa jabatan presiden dan DPR.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Muhammad Fakhruddin
Penundaan Pemilu Disebut Ingkari Kedaulatan Rakyat (ilustrasi).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Penundaan Pemilu Disebut Ingkari Kedaulatan Rakyat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Ramlan Surbakti menyatakan, wacana penundaan pemilu bertentangan dengan asas periodik pemilu. Ia menjelaskan, dalam Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, pemilu diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Menurutnya, jika pemilu ditunda maka akan memperpanjang masa jabatan presiden dan DPR. itu bertentangan dengan asas periodik atau reguler. Ia juga menuturkan, ketika masa jabatannya habis, presiden dan wakil presiden tidak lagi memiliki legitimasi.

Baca Juga

“Setelah 20 Oktober 2024, presiden dan wakil presiden tidak punya kewenangan lagi untuk membuat keputusan, undang-undang, atau APBN,” kata dia, Selasa (15/3).

Ramlan juga mengatakan, penundaan pemilu mengingkari kedaulatan rakyat yang berhak menilai dan menuntut akuntabilitas dari petahana. Dampaknya, dikhawatirkan akan terjadi banyak protes dari masyarakat. Dalam hal ini, biaya yang dikeluarkan negara untuk menghadapi protes-protes tersebut sangat mahal. “Mungkin lebih mahal dari pemilu,” ujarnya.

 

Mantan ketua KPU 2004-2007 itu juga menjelaskan, ada beberapa pihak yang kontra dengan biaya pemilu yang akan datang, sebesar Rp 72 triliun. Akan tetapi, Ramlan mengungkapkan bahwa biaya tersebut bukan pemborosan jika melihat risiko delegitimasi presiden dan DPR. “Itu hanya di atas kertas,” kata dia.

Menurutnya, jika pemilu ditunda, lembaga-lembaga negara yang pengangkatannya bergantung pada legitimasi presiden dan DPR bisa lumpuh. Jika presiden dan DPR tidak lagi memiliki legitimasi, lembaga-lembaga yang ditunjuk, seperti BPK dan KPU, juga tidak berlegitimasi.

“Jadi kalau tidak ada pemilihan umum, roda organisasi negara itu tidak bisa berfungsi dan harganya lebih mahal daripada pemilu,” kata dia.

Guru Besar Ilmu Politik Unair itu juga berharap agar Presiden Joko Widodo menegaskan sikapnya atas isu tersebut. Sehingga masyarakat bisa lebih fokus ke hal-hal lain yang lebih penting.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement