REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) ditargetkan dapat masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada Mei 2022. Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebut penyusunan RUU Sisdiknas dilakukan untuk memperkuat pendidikan Indonesia.
Pemerhati pendidikan, Muhammad Nur Rizal, menilai RUU Sisdiknas penting dilakukan untuk mengantisipasi pendidikan dalam menghadapi perubahan era disrupsi yang tak lazim. Namun, perubahan RUU tidak hanya berfokus pada infrastruktur atau kelembagaannya saja, tetapi juga harus berorientasi pada pengembangan manusianya.
“Untuk itu, diperlukan fokus pada pengembangan kultur sekolah dan budaya masyarakat yang berliterasi tinggi dalam menyiapkan SDM yang terus mau belajar dan tumbuh serta mampu mengantisipasi kemajuan teknologi, perubahan sosial, dan lingkungan di masa depan,” tutur Rizal kepada Republika, Selasa (15/3/2022).
Lebih lanjut, Rizal menuturkan bahwa kebijakan politik pendidikan perlu dirancang ulang dan perlu perubahan paradigma pendidikan ke personalized learning. Selain itu, RUU Sisdiknas juga perlu menyasar pengalaman belajar siswa agar motivasi dan antusiasme belajarnya menjadi tinggi.
Meski perubahan rancangan ini terkesan mendesak, Rizal mengungkapkan, RUU Sisdiknas harus mempertimbangkan berbagai macam aspek seperti kepercayaan dan pelibatan publik, transparansi, serta prosedur yang ilmiah. Apabila proses transparasi publik ini ditanggalkan, maka akan berakibat pada lemahnya narasi tentang urgensi perubahan RUU Sisdiknas.
“Padahal, perubahan kebijakan politik pendidikan harus diikuti oleh perubahan narasi besar di masyarakat yang berujung pada perubahan cara berpikir masyarakat atau paradigma untuk mengantisipasi perubahan dunia yang terjadi,” ungkap pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu.
Kemudian, substansi dari RUU Sisdiknas harus memandang manusia bukan kapital, tetapi harus diberdayakan. Manusia dalam hal ini guru, anak didik, dan komunitas masyarakat harus ditempatkan sebagai subjek, bukan objek semata. Karena pada era kecerdasan buatan (AI), hanya manusia yang berdaya dengan dirinya, mampu mengendalikan dirinya, serta mampu memprediksi masa depan yang akan menjaga eksistensi manusia dari dominasi dunia robot atau kecerdasan buatan.
Di samping itu, sosok guru yang mumpuni sangat dibutuhkan dalam menghadapi era disrupsi yang akan berdampak pada ekosistem sekolah yang lebih memanusiakan dan proses belajar yang lebih relevan dan kritis. Oleh karenanya, perlu dipikirkan juga reformasi di tubuh lembaga pengelola Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk menghasilkan guru yang berkualitas dalam mengajar.
“Cara mengangkat martabat dan profesionalisme guru yang paling penting adalah pada pengelolaan guru agar terbangun budaya pembelajaran yang kontektual dan adaptif (powerful learning environment),” ungkap dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknik Informatika (DTETI) Universitas Gadjah Mada itu.
Oleh: Whafir Pramesty (my41)