Oleh : Mufdlilah*
REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa waktu yang lalu kasus pelanggaran asusila yang dilakukan oleh mahasiswa di dua kampus Islam di Yogyakarta ramai diperbicangkan publik di jagad media sosial. Sebagian mengatakan ini adalah fenomena gunung es, karena sebenarnya banyak kasus serupa yang terjadi. Padahal etika di perguruan tinggi Islam sejatinya benar-benar diperhatikan dan menjadi fokus perguruan tinggi dalam pelaksanaan pendidikan.
Kampus-kampus Islam lahir dari sebuah idealisme. Tengok saja sejarah berdiri, nilai dasar, profil lulusan, kompetensi lulusan perguruan-perguruan tinggi Islam. Dalam dokumen-dokumen tersebut tersurat idealisme itu. Bisa dipastikan kata “iman”, “taqwa kepada Allah SWT”, “meneladani Rasulullah Muhammad SAW”, “integritas”, “amanah” dan beberapa kata atau frasa kunci yang terkait dengan nilai dan etika Islami lainnya ada di dalam dokumen tersebut.
Pertanyaan selanjutnya muncul: Bagaimana nilai-nilai itu bisa dinternalisasikan ke seluruh civitas akademica?
Di sinilah yang harus diakui masih menjadi masalah besar yang diharapi kampus-kampus Islam. Bisakah nilai dan etika Islam secara komprehensif diinternasilisasikan melalui kanal-kanal yang disediakan kampus kepada seluruh civitas academica: dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa? Setelah dinternalisasikan, bagimana kemudian senantiasa dijaga dengan quality control yang sebaik-baiknya? Ini menjadi tantangan berikutnya.
Beberapa bulan yang lalu viral tangkapan layar seorang dosen dari kampus Islam di Sumatera yang saat itu mengajar jam 7 pagi dan mendapati cukup banyak mahasiswanya di kelas yang diampunya belum menunaikan shalat shubuh. Sang dosen memberi kesempatan kepada yang belum menunaikan shalat shubuh agar sholat terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan gambaran bahwa quality control nilai dan etika Islami di kampus Islam penting menjadi kesadaran setiap individu yang menjadi bagian dari kampus Islam tersebut. Tentunya akan lebih ideal lagi jika sistem penjagaan kualitas ini dilakukan secara sistemik terpusat.
Hari ini, kampus-kampus Islam telah menghadapi tantangan besar ketika harus berhadapan dengan kepentingan pasar. Tentu saja tidak ada kampus Islam yang mau tutup karena tidak mendapatkan mahasiswa. Maka semua upaya pemasaran dilakukan. Semua kampus Islam ingin merekrut mahasiswa sebanyak-banyaknya.
Ke depan, internalisasi nilai dan etika Islami di kampus Islam harus dilakukan sejak pertama kali mahasiswa menginjakkan kaki di kampus dan dilanjuktan ke tahap-tahap berikutnya di setiap semester dan di tiap mata kuliah oleh masing-masing dosen yang telah menerapkan nilai Islami tersebut dengan dukungan sistem yang dibangun pimpinan perguruan tinggi dan dibantu tenaga kependidikan tentunya.
Dengan demikian terjadi gerakan sistemik bersama yang bisa menggerakkan perguruan tinggi menjadi mesin “pengaderan” yang mencetak alumni menjadi pribadi utama dengan nilai-nilai Islami yang dikembangkan perguruan tinggi. Semoga! Wallahua’lam.
*Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan AIK Universitas Aisyiyah Yogyakarta (UNISA)