REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Meski ada antisipasi dan langkah pengendalian, inflasi di Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini diprediksi akan bergerak naik. Hal ini karena pergerakan inflasi tahunan kelompok mamin dan tembakau di Cilacap dan Purwokerto, Jawa Tengah, dipengaruhi oleh perubahan pola konsumsi masyarakat dalam merespon pandemi Covid-19.
"Ekspektasi konsumsi masyarakat diperkirakan akan meningkat, seiring dengan meningkatnya aktivitas sosial ekonomi yang didorong oleh realisasi vaksin yang terus bertambah dan kasus Covid-19 yang sudah mulai melandai," kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Purwokerto Rony Hartawan di Kantor BI Purwokerto.
Selain peningkatan konsumsi masyarakat, pergerakan harga komoditas dunia akibat perang Rusia-Ukraina, kebijakan pemerintah, serta cuaca menjadi tantangan pengendalian inflasi pada Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini.
Berdasarkan data inflasi bulanan 2019-2021, beberapa komoditas seperti daging ayam ras, beras,cabai rawit, telur ayam ras, bawang merah, bawang putih, dan cabai merah tergolong menjadi komoditas dengan risiko tinggi. Komoditas-komoditas ini perlu mendapatkan perhatian khusus dalam rangka pengendalian inflasi ke depan.
Bank Indonesia (BI) mencatat, tingkat inflasi Purwokerto dan Cilacap pada Maret 2022, tercatat masing-masing 0,82 persen (mtm) dan 1,19 persen (mtm). Inflasi pada kedua daerah utamanya didorong oleh kenaikan harga minyak goreng sejalan dengan adanya relaksasi ketentuan HET minyak goreng per 16 Maret 2022.
Selain itu, risiko inflasi dometik berasal dari potensi berakhirnya kebijakan subsidi tarif listrik untuk konsumen rumah tangga sederhana dengan 450 VA (50 persen) dan 900 VA (25 persen). Tarif cukai rokok 2022 yang ditetapkan sebesar 25 persen diperkirakan akan meningkatkan inflasi komoditas rokok, sebagai langkah antisipasi pelaku industri rokok.
Tembakau tercatat jadi salah satu komoditas yang menyebabkan inflasi terkerek di Purwokerto dan Cilacap. Penyesuaian PPN menjadi 11 persen sesuai dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mulai berlaku sejak 1 April 2021, dengan pengecualian untuk barang kebutuhan pokok, jasa pelayanan sosial, jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan beberapa kegiatan ekspor juga dapat memicu inflasi.
Menurut Rony, ada beberapa upaya antisipasi untuk mengendalikan inflasi. Pertama, pemantauan ketersediaan pasokan komoditas pangan strategis melalui perluasan distribusi komoditas dengan Kerja Sama Antar Daerah (KAD) dan mengoptimalkan ambassador untuk produk unggulan daerah.
Selain itu, mendorong kelancaran pendistribusian minyak goreng di daerah, baik minyak goreng curah maupun minyak goreng kemasan. Upaya lainnya yakni optimalisasi utilisasi teknologi digital, baik untuk peningkatan produktivitas pertanian melalui digital farming maupun erluasan elektronifikasi pembayaran digital.
Kemudian optimalisasi penggunaan SiHati dan hargapangan.id untuk pemantauan harga dan penguatan rantai nilai komoditas dari hulu ke hilir secara end-to-end. BI juga meminta pelaku usaha untuk bekerja sama, menjual dengan margin wajar dan berbagi beban atas kenaikan bahan baku dengan menahan atau mengurangi kenaikan harga jual yang dibebankan kepada konsumen, serta tidak menahan/menimbun stok.
Juga melaksanakan program pengendalian inflasi menjelang Idul Fitri 1443H seperti pasar murah, sidak pasar dan produsen, memastikan kecukupan pasokan BBM, serta mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat seperti kampanye bijak berbelanja.
"Salah satu yang susah dikendalikan itu perilaku masyarakat, karena harganya naik sedikit, langsung nimbun terus barangnya dijual lagi," ujar Rony.