REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: S Bowo Pribadi/Jurnalis Republika
Maraknya tarif maupun pungutan tak wajar yang jamak dikeluhkan masyarakat (wisatawan) melalui berbagai media sosial juga mendapatkan perhatian Dinas Pariwisata (Disparta) Kabupaten Semarang.
Pasalnya, fenomena tersebut bisa menjadi kontraproduktif dengan upaya pemerintah untuk membangkitkan kembali industri pariwisata yang dua tahun terakhir terpuruk akibat pandemi Covid-19.
“Yang lebih parah lagi, juga bisa ‘mencoreng’ citra destinasi wisata dan tentu ini juga bisa merugikan,” ungkap Kepala Disparta Kabupaten Semarang, Heru Subroto, kepada Republika, Ahad (22/5).
Kendati begitu, lanjut Heru, di Kabupaten Semarang –sejauh ini—belum ada keluhan atau laporan- laporan terkait adanya pungutan atau tarif yang membuat para wisatawan merasa kurang nyaman.
Dibandingkan dengan Kota Semarang, jelasnya, Kabupaten Semarang relatif memiliki daya tarik wisata (DTW) yang lebih beragam, baik untuk DTW dengan ungglan wisata alam maupun wisata buatan.
Untuk DTW yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Semarang --dalam hal ini Disparta-- seperti DTW Candi Gedongsongo, Bukit Cinta Rawapening, Pemandian Alam Muncul dan Museum Palagan Ambarawa urusan tarif –baik parkir maupun tiket— tentu mendasarkan pada peraturan daerah.
Pun demikian pemasukannya juga langsung dilaporkan ke Badan Keuangan Daerah (BKUD) Kabupaten Semarang. “Artinya untuk pengenaan tarif yang dibebankan kepada wisatawan sudah jelas,” katanya.
Sedangkan untuk DTW yang pengelolaannya di luar kewenangan pemerintah daerah, masih jelas Heru, memang lebih banyak di Kabupaten Semarang.
Seperti Umbul Sidomukti, Bandungan Waterpark, Agrowisata Hortimart, Kampoeng Kopi Banaran (Kakoba), Dusun Semilir, Eling Bening, Saloka Theme Park, Goa Rong View, Kampoeng Banyumili, Taman Bunga Celosia, Taman Wisata Kopeng (TWK), Kopeng Treetop Adventure Park dan Sumowono Bamboo Garden.
Dari semua DTW tersebut, pengelolaan parkirnya juga ada yang ditangani langsung oleh manajeman dan ada yang dipihakketigakan. Karena masing- masing pengelola juga menyediakan lahan parkir yang memadai.
Bahkan umumnya tarif parkir yang dikenakan juga tidak begitu mahal. Bahkan sebagian dari pengelola juga memberdayakan warga sekitar –melalui kerjasama dengan BUMDes—sebagai bentuk pemberdayaan serta kontribusi terhadap lingkungan.
Sehingga parkir- parkir liar relatif lebih terkendali. “Sejauh ini, semua dapat berjalan dengan tertib tidak ada pihak- pihak yang memanfaatkan untuk mencari pendapatan di luar ketentuan yang ada,” jelasnya.
Ia juga mengakui, Disparta Kabupaten Semarang memang tidak bisa lebih jauh mengawasi berbagai fasilitas yang dikelola swasta tersebut. Demikian halnya dengan usaha pendukung pariwisata seperti resto, café dan sejenisnya.
Namun demikian Pemkab Semarang –sebenarnya-- juga ikut mengontrol melalui pengenaan pajak yang ditetapkan melalui peraturan daerah. Bahkan –meski belum semuanya-- sebagian dari pengelola resto sudah menggunakan tapping box.
Sehingga semua usaha resto yang dikenakan pajak pasti akan mencantumkan besaran pajak yang dikenakan pada setiap struk transaksi. “Maka jika terjadi harga yang tidak wajar masih dapat diketahui,” jelasnya.
Kearifan Lokal
Persoalan harga tak wajar yang banyak dikeluhkan melalui nedia sosial tak urung juga turut ‘menyeret’ pengelola desa wisata. Selain tatakelolanya dilakukan secara swadaya, pengelolaan desa wisata juga lepas dari campur tangan pemerintah daerah.
Di Kabupaten Semarang, salah satu desa wisata yang cukup populer --karena daya tarik alam dan buatannya-- adalah Desa Wisata Sepakung, Kecamatan Sepakung, Kecamatan Banyubiru.
Kepala Desa Sepakung, Ahmat Nuri yang dikonfirmasi mengungkapkan, untuk pengelolaan Desa Wisata Sepakung, selama ini diserahkan kepada BUMDes mandiri Jaya Desa Sepakung dengan pelaksananya adalah Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) serta Karang Taruna desa setempat.
Pengelolaan Desa wisata yang memiliki unggulan destinasi Gumuk Reco dan Wisata Puncak Gunung Telomoyo ini tetap mengedepankan kearifan lokal sebagai daya dukung daya tarik kepada pengunjung.
Soal tarif parkir --penitipan kendaraan-- dan harga tiket masuk pun relatif murah. Misalnya sepeda motor Rp 2.000 dan mobil Rp 5.000. sedangkan tiket masuk kawasan Gumukreco Rp 10.000 per orang dan tiket wisata puncak Gunung Telomoyo sebesar Rp 15.000 per orang.
“Di luar pokdarwis dan karang taruna, tidak ada parkir atau penitipan kendaraan liar yang aktivitas kegiatannya berada di luar pengawasan oleh pengelola Desa Wisata Sepakung,” tegasnya.
Sebagai pendukung perekonomian warga di Desa Wisata Sepakung, lanjut Ahmat pengelola juga memberikan kesempatan kepada usaha mikro kecil menengah (UMKM) warga setempat yang umumnya merupakan usaha kuliner.
Untuk usaha kuliner pun juga diutamakan berbagai kekayaan kuliner lokal dan dapat dipastikan harganya juga terjangkau. Terlebih pengelola Desa Wisata Sepakung dari awal sudah mewanti- wanti siapa saja (waga desa) boleh berjualan tetapi tidak boleh ‘ngepruk’ harga.
Tujuannya jangan sampai ada komplain pengunjung di lokasi atau bahkan sampai komplain di media sosial yang sudah tentu dapat merugikan citra desa wisata tersebut.
Prinsip kami, kedatangan tamu atau wisatawan adalah sebah penghormatan, maka tamu juga harus dihormati dan harus mendapatkan pelayanan yang baik selama mereka berada di Desa Wisata Sepakung.
“Ini juga menjadi kearifan lokal warga Desa Sepakung yang selalu menyambut dengan baik siapa pun tamu yang datang,” jelasnya.
Ahmat Nuri juga mengaku, semua stakeholder pelaku wisata di desa Sepakung masih konsisten untuk melaksanakannya. “Sehingga, sampai hari ini Desa Wisata Sepakung juga masih menjadi salah satu desa wisata yang mampu menarik kunjungan wisatawan, local maupun dari luar daerah,” tegasnya.