REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Rossanto Dwi Handoyo berpendapat, mewabahnya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan di 178 kabupaten/kota di Indonesia menimbulkan efek samping terhadap harga sapi menjelang Idul Adha 1443 Hijriyah. Rossanto menjelaskan, harga sapi saat ini terbagi menjadi dua bagian.
Bagi daerah yang terindikasi terkena wabah PMK, harga sapi akan menurun. Sedangkan bagi daerah-daerah yang tidak terindikasi terkena wabah PMK maka harga sapi akan meningkat. Menurut Rossanto, masyarakat cenderung tidak percaya untuk membeli sapi pada daerah-daerah yang terindikasi terkena wabah PMK.
"Tentu hal ini berpengaruh pada supply dan demand sapi di suatu daerah dan mempengaruhi harga pasarnya," kata Rossanto, Rabu (22/6/2022).
Rossanto menambahkan, harga sapi bisa kembali normal jika pemerintah melakukan mitigasi yang optimal. Apalagi, saat ini predikat Indonesia sebagai negara bebas PMK telah dicabut. Ia mengingatkan, pemerintah harus bisa menyediakan vaksinasi sebagai upaya mitigasi secara masif untuk mengatasi wabah PMK.
"Karena kalau tidak maka penyebaran akan semakin meningkat dan tentunya akan merugikan produsen dan juga masyarakat itu sendiri sebagai pembeli,” ujar Rossanto.
Rossanto juga menyarankan sejumlah solusi yang bisa dilakukan untuk mengendalikan harga sapi. Salah satunya dengan melakukan impor. Menurutnya, impor menjadi salah satu solusi untuk menjaga ketahanan pangan. Karena daging juga memberikan kontribusi terhadap inflasi, sehingga bisa melebar ke sektor-sektor yang lain.
"Selain itu, revolusi industri di peternakan juga bisa dilakukan pemerintah agar wabah PMK dapat terkendali dengan baik," kata dia.