REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) mengunjungi LBH Yogyakarta pada Rabu (6/7/2022). Gempadewa berkomitmen menolak rencana pemerintah atas penambangan batu andesit di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Abdul Mukti, salah satu perwakilan pemuda Wadas (Kamudewa), mengatakan penolakan telah dilakukan sejak 2015. Ia mengatakan Gempadewa sendiri sudah melakukan tindakan baik secara hukum atau di luar hukum.
"Dari 2015 sampai sekarang kami masih tetap menolak tambang, sudah banyak perjuangan yang kami lalui mulai dari persidangan hingga audiensi. Semua ini dilakukan agar Desa Wadas lestari sampai nanti," katanya.
Selain itu, Mukti mengatakan pemerintah sempat mengirimkan aparat untuk menakut-nakuti warga. ia juga menuntut agar gubernur Jawa Tengah mencabut Izin Penetapan Lokasi (IPL).
"Sejak kejadian di 22 Februari awal tahun lalu, masih menyisakan trauma bagi warga. Jika tambang andesit betul-betul terjadi, mayoritas warga kami yang petani hidupnya bagaimana," katanya.
Selanjutnya, Mukti mengatakan penghidupan warga sudah tercukupi dari hasil bumi saja. Mulai dari durian, kemukus, jahe, kopi, bambu, aren masih bisa mencukupi ekonomi. "Kami tidak butuh UGR, warga sendiri sudah tercukupi dari panen hasil bumi," tegasnya.
Marsono, perwakilan sesepuh dari Gempadewa menambahkan, warga masih konsisten mempertahankan lahan hidup dan menolak tambang batu andesit. Sebab, mayoritas warga Wadas adalah petani.
"Kami masih konsisten mempertahankan ruang hidup karena mayoritas kami adalah petani jadi kalau lahan petani hilang karena tambang masyarakat terancam kehilangan penghidupannya," kata dia.
Senada dengan itu, Anis Maghfiroh selaku perwakilan Perempuan Desa Wadas mengungkapkan perpecahan mulai terjadi di masyarakat setelah pemberian UGR.
"UGR jadi salah satu upaya pemerintah untuk menggembosi kami. Masyarakat tidak ingin pecah belah namun pemerintah malah menggunakan cara tidak patut. Kami tetap menolak karena menyangkut keberlangsungan hidup," ujar dia.