REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Siapa yang tak mengenal kuliner lezat bernama rendang? Makanan yang berasal dari Sumatera Barat ini banyak disukai oleh masyarakat Indonesia, bahkan dunia.
Sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam mengatakan, sebenarnya terdapat perdebatan mengenai pengaruh adanya hidangan rendang di Sumbar. Penelitian Fadly Rahman menyebutkan adanya peran Portugis mengenai keberadaan rendang di daerah tersebut. "Tetapi kalau kita lihat di dalam uraian Antropolog Universitas Brawijaya, Ary Budianto menyebutkan bahwa peran Portugis hanya ada di kuliner kalio," kata Asvi dalam kegiatan diskusi secara daring.
Berdasarkan penelitian tersebut, Kalio disamakan dengan kuliner Bafado dari Portugis. Hal ini disimpulkan karena sajian bafado berbeda dengan rendang darek. Aspek inilah yang membedakan bafado dan rendang sehingga dinilai tidak ada pengaruh Portugis.
Ada pun proses pembuatannya, sejumlah buku kuliner menyebutkan, rendang pada dasarnya termasuk bagian dari proses pembuatan Kalio. Sebab, rendang secara bahasa mengartikan sebuah proses memasak yang cukup lama sehingga air di dalamnya surut. Hal ini berarti kalio merupakan setengah dari proses pembuatan rendang.
Menurut Asvi, terdapat jenis rendang yang ditemukan di masyarakat. Hal ini berarti tidak hanya rendang daging sapi atau kerbau yang selama ini dikenal oleh masyarakat. "Ibu saya dulu pernah masak rendang bebek atau itik. Di Merauke, saya pernah makan di restoran Padang ada rendang rusa. Jadi ada bermacam jenis rendang," ucapnya.
Dari temuan-temuan tersebut, Asvi berpendapat, rendang original menggunakan daging sapi dan kerbau. Sementara itu, jenis-jenis lain seperti ayam, bebek dan lain-lain merupakan hasil pengembangan di wilayah masing-masing.
Hal yang menjadi pertanyaan Asvi adalah mengenai kapan rendang pertama kali dibuat. Ditambah lagi, terdapat laporan yang menyebutkan bahwa rendang selalu dikaitkan dengan perantauan.
Untuk diketahui, masyarakat Minangkabau menerapkan sistem matriarki. Hal ini berarti masyarakat setempat sangat mengutamakan perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini otomatis menempatkan laki-laki sebagai orang yang menumpang di keluarganya sehingga merantau menjadi pilihan.
Karena lokasi perantauan yang cukup jauh, maka dibuatlah makanan yang awet. Hal ini yang menyebabkan masyarakat setempat menciptakan kuliner rendang. Kuliner kering ini terbukti bisa disimpan lama sehingga dapat dikonsumsi berkali-kali.
Ahli Kuliner, Reno Andam Suri mengaku, pernah bertemu dengan seorang narasumber untuk mempertanyakan alasan rendang disajikan dengan warna hitam dan kering. Sebab, penyajian kuliner dengan warna hitam biasanya dikonotasikan dengan rasa pahit. Dia pun mempertanyakan apakah rendang itu produk gagal atau hadir karena ketidaksengajaan.
"Dan beliau jawab tidak ada unsur ketidaksengajaan. Kita masak rendang memang mau masak rendang. Ini saya agak terperangah," ucap perempuan berhijab ini.
Dari pernyataan tersebut, Reno pun menilai, orang Minangkabau ternyata sangat hebat dan cemerlang. Mereka mampu menciptakan makanan berwarna hitam dan kering dengan rasa tidak pahit. Rendang bisa menjadi makanan yang enak dan tahan lama untuk dikonsumsi.
Namun anggapan tersebut tidak langsung dipercaya begitu saja oleh Reno. Dia meyakini pasti ada pengaruh lain yang membuat rendang bisa hadir di Minangkabau.
Pada kesempatan ini, Reno pun menyinggung masalah kata 'marandang' yang merupakan sebuah kata kerja yang dipadankan dengan 'rendang'. Marandang sendiri berarti proses menghilangkan air dengan cara diaduk terus-menerus di atas api kecil. Hal inilah yang membuat rendang bisa menjadi kuliner yang tahan lama.
Ada pun tahapan pembuatan rendang terbagi atas tiga. Ketiga tahapan tersebut antara lain gulai, kalio dan rendang. Proses terakhir merupakan hasil kuliner rendang yang selama ini dikenal.
Rendang pada mulanya memiliki bumbu yang sangat minimalis. Rendang Darek hanya membutuhkan bumbu santan, bawang merah, bawang putih, laos, daun kunyit, jahe, daun jeruk dan daun salam. Menurut Reno, rendang Darek merupakan cita rasa yang paling original dibandingkan lainnya.
Selanjutnya, rendang mulai menyebar ke daerah lain terutama wilayah pesisir. Menurut Reno, wilayah pesisir kala itu sangat ramai sehingga banyak terjadi akulturasi. Dalam hal ini termasuk masalah pertukaran bumbu di daerah tersebut.
"Jadi ada dua teritorial, yaitu wilayah Darek dan pesisir. Rendang Darek itu rendang minimalis," jelasnya.
Faktor perdagangan di pesisir menyebabkan terjadinya pergeseran di sejumlah aspek. Salah satunya bumbu rendang yang pada akhirnya mengandung rempah-rempah. Sebab itu, ada pihak yang mengklaim menggunakan 15 sampai 20 rempah-rempah untuk menciptakan rendang.
Reno tak menampik, rendang yang mengandung rempah-rempah lebih dikenal oleh masyarakat. Hal ini terutama apabila ditunjukkan pada masyarakat di luar kota Minangkabau. Mereka lebih mengenal rendang dengan rasa pedas, gurih dan berempah.