REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Agenda reformasi sepanjang dua dekade ini belum terselesaikan. Bahkan, pengentasan kemiskinan, korupsi, penegakan hukum, agenda keadilan, disintegrasi sosial, gejolak konflik dan kekerasan berantai dirasa makin tidak berkesudahan.
Meski begitu, reformasi telah melahirkan demokrasi yang lebih terbuka. Ditandai partisipasi, transparansi dan kuasa politik yang akuntabel jadi konteks tumbuh kembang kebebasan baik individu maupun kelompok saat mengartikulasi kepentingan.
Sosiolog UGM, Dr Arie Sujito mengatakan, meluapnya ekspresi kebebasan masyarakat dengan demokrasi yang lebih terbuka ini terfasilitasi oleh kebijakan keterbukaan dan transparansi. Sekaligus, Arie melihat, dari gelombang pasang liberalisasi.
Namun, kenyataannya distorsi atas kebebasan justru dimanfaatkan untuk menyerang kepentingan orang lain tanpa data dan adab, memamerkan hoax, hate speech, black propaganda. Sehingga, beresiko retak aturan dan kultur demokrasi secara praksis.
Ia melihat, ruang publik, terutama virtual, semakin dicemari kepentingan sempit dengan dampak makin kumuh. Kemudian, kontestasi hasrat dominatif dengan abai terhadap hak-hak orang lain, serta ekspresi kebencian terhadap derajat tertentu.
"Artinya, kepentingan dan tujuan diri dengan menggunakan ragam cara yang justru merusak nalar dan nilai demokrasi," kata Arie, Selasa (30/8/2022).
Ia menilai, perlu penegakan aturan main, komitmen dan kesadaran diri, kultur dan nilai keadaban dalam menyampaikan ekspresi di ruang publik. Membersihkan ruang publik dari pencemaran, kekumuhan dan distorsi bukan berarti batasi kebebasan.
Bangun debat publik, dialog, literasi dan edukasi demokrasi dengan menanamkan ide-ide penghormatan perbedaan. Junjung kemartabatan dan kemanusiaan, toleransi, manfaatkan kebebasan bernilai kebangsaan yang berproses menuju demokrasi beradab.
"Itulah demokrasi yang berkualitas, di antaranya ditandai adanya ruang publik yang sehat, memanfaatkan kebebasan tanpa mencederai hak orang lain," ujar Arie.
Arie menyoroti jalur partisipasi sosial warga sipil yang berdaya untuk mengawasi dan melibatkan diri dalam proses politik agar demokrasi kian bermakna. Perluasan arena sipil memungkinkan pembentukan politik kewargaan tumbuh mengisi demokrasi.
Kita harus menggeser politik tidak semata urusan parpol dan pemilu. Namun, everyday life politic menjadi arena persemaian demokratisasi yang di dalamnya nilai, sikap dan interaksi serta artikulasi kepentingan berproses dan bekerja.
Untuk menuju demokrasi berkualitas, kata Arie,perlu upaya-upaya menggerakkan komponen demokrasi dengan landasan nilai keadaban, kemartabatan, keadilan, kemanusiaan dan kesejahteraan dalam mengelola kekuasaan, baik di aras negara.
"Yang di dalamnya mencakup pemerintah, parlemen, aparatur dan perangkat regulasinya, serta yang lebih penting komponen lainnya yakni masyarakat sipil untuk pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara sesuai konstitusi," kata Arie.
Demokrasi yang menyejahterakan bisa memberi makna demokrasi kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat. Hal itu harus diikuti pemberdayaan civil society, yakni mampu memanfaatkan perubahan dan kebebasan untuk membangun kemaslahatan bersama.
Dengan politik warga negara yang sejahtera, diharapkan membawa demokrasi yang lebih mengakarkan kepada komitmen dalam nilai-nilai keseharian. Lalu, menyentuh realitas yang sering disebut demokrasi yang bermanfaat untuk seluruh rakyatnya.
"Tantangan yang harus dijawab dan diprioritaskan adalah membangun ruang publik yang sehat, kebebasan yang bermakna bagi sistem demokrasi berkualitas, terutama untuk memenuhi kebutuhan sebagai bangsa, masyarakat dan negara," ujar Arie.