Rabu 19 Oct 2022 13:45 WIB

'Soal Muslim Uighur, HAM dan Kemanusiaan Seharusnya di Atas Kepentingan Politik'

Jelas terjadi tindakan kekerasan, diskriminatif, dan pelanggaran HAM di Uighur.

Sejumlah massa saat melakukan aksi bela Muslim Uighur di depan Kedutaan Besar Cina, Kuningan, Jakarta, Jumat, (27/12).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah massa saat melakukan aksi bela Muslim Uighur di depan Kedutaan Besar Cina, Kuningan, Jakarta, Jumat, (27/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bertahun-tahun Muslim Uighur mengalami berbagai tindakan kekerasan, diskriminatif, dan pelanggaran HAM lain yang dilakukan oleh Pemerintah Cina. Publik Indonesia kemudian ramai membahas mengenai sikap Indonesia yang menolak usul Amerika Serikat untuk menggelar debat terkait laporan Dewan HAM PBB yang menyatakan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap etnis Uighur di Cina. Alasannya, Indonesia memandang pendekatan yang diajukan oleh negara pengusung dalam Dewan HAM lebih bernuasa politis dan dianggap tidak akan menghasilkan kemajuan yang berarti. 

Sikap Indonesia ini ditanggapi oleh anggota Komisi I DPR RI yang membidangi urusan luar negeri, Sukamta. "HAM dan kemanusiaan lebih utama dibandingkan dengan politik antarnegara," kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini dalam siaran persnya yang diterima Republika, Rabu (19/10/2022).

Ia menambahkan, sikap Indonesia dalam masalah Muslim Uighur di Xinjiang sejak masalah ini muncul seakan menjaga jarak atau tidak mau terlibat dengan berbagai alasan yang normatif. 

"Bernuansa politis jadi alasan menolak debat. Namun, Indonesia tidak ada inisiatif, upaya atau solusi lain terkait masalah pelanggaran HAM di Uighur, tentunya sangat disayangkan," tutur Sukamta.

Menurut Sukamta, yang berasal dari Daerah Pemilihan DIY ini, jelas terjadi tindakan kekerasan, diskriminatif, pelanggaran HAM serta kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yang dilakukan pemerintah Cina terhadap minoritas Uighur di Xinjiang berdasarkan laporan Dewan HAM PBB. 

"Maka, Indonesia sebagai negara yang memiliki amanat tentang penghapusan penjajahan, penegakan HAM dan sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia seharusnya memperjuangkan nasib muslim Uighur," katanya.

Ia berharap pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Jokowi bersikap tegas atas pelanggaran HAM yang terjadi di sana. Meski Indonesia memiliki kerja sama investasi dengan perusahaan-perusahaan Cina. "Sudah seharusnya Pemerintah Indonesia memperjuangkan penegakan HAM sesuai dengan amanah pendiri bangsa," katanya menegaskan.

Sebuah laporan Dewan HAM PBB pada akhir Agustus 2022 menyimpulkan bahwa orang-orang Uighur dan orang-orang dari kelompok muslim lainnya di Xinjiang telah dirampas hak-hak dasar mereka dari 2017 hingga 2019 dan kemungkinan masih terus berlanjut hingga saat ini. Qatar, Indonesia, Uni Emirat Arab dan Pakistan menjadi negara-negara mayoritas Muslim dan mitra dagang investasi Cina yang menolak resolusi debat terkait masalah Uighur, Xinjiang, Cina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement