REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Kasus gagal ginjal akut menimpa anak-anak di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Kemenkes mengimbau penyetopan obat bentuk cair menyusul laporan pasien anak dengan gangguan gagal ginjal akut terpapar tiga zat kimia berbahaya.
Ada ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE). Pakar farmakologi dan farmasi klinik UGM, Prof Zullies Ikawati mengatakan, penyebab gagal ginjal akut pada anak saat ini masih jadi misteri.
Belum bisa dipastikan ada tidaknya keterkaitan antara gagal ginjal akut dengan konsumsi obat berbentuk sirup, terutama yang mengandung parasetamol. Apalagi, Zullies mengingatkan, kejadian gagal ginjal akut baru ada belakangan ini.
"Padahal, penggunaan sirup obat parasetamol sudah cukup lama dan aman digunakan," kata Zullies, Jumat (21/10).
BPOM mengungkap lima obat sirup yang mengandung EG dan DEG di atas batas aman. Namun, Zullies menekankan, saat ini semua masih dalam proses penyelidikan untuk memastikan hubungan gagal ginjal akut dengan senyawa dalam kandungan obat.
EG dan DEG merupakan satu cemaran yang bisa dijumpai di bahan baku pelarut obat sirup. Di parasetamol dan banyak obat lain yang sukar larut air diperlukan bahan tambahan, dan biasanya di Indonesia digunakan propilen glikol atau gliserin.
Bahan baku propilen glikol atau gliserin ini dimungkinkan mengandung cemaran zat tersebut. Guru Besar Fakultas Farmasi UGM tersebut berpendapat, sebenarnya ini wajar selama masih dalam ambang batas, maka tidak beresiko efek toksik. "Termasuk, gagal ginjal akut," ujar Zullies.
Zullies menyampaikan berbagai faktor penyebab gagal ginjal akut. Misal, infeksi tertentu seperti leptospirosis yang salah satunya bisa menyerang ginjal. Selain itu, infeksi bakteri E. coli dapat pula menyebabkan gagal ginjal akut.
Kajian sementara dari Kemenkes menyebutkan penapisan terhadap virus dan bakteri telah dilakukan dan belum terbukti kuat sebagai penyebab gagal ginjal akut. Maka itu, Zullies mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan tidak panik.
Bila anak mengalami demam, batuk dan pilek sebaiknya mengonsumsi parasetamol dalam bentuk puyer, kapsul, tablet, suppositoria atau bentuk lainnya. Untuk mengurangi rasa pahit, ia menilai, bisa ditambahkan pemanis yang aman bagi anak.
Lalu, konsultasikan efek penggunaan obat sirup dengan dokter dan apoteker. Untuk parasetamol yang mengurangi gejala, mungkin penggunaan sirup beresiko ketimbang manfaat saat ini, sedang diteliti kemungkinan cemaran bahan yang membahayakan. "Untuk itu, bisa dicoba dalam bentuk puyer atau bentuk lainnya," kata Zullies.
Zullies merasa, imbauan tidak menggunakan obat dalam bentuk sirup untuk semua pengobatan jadi keputusan yang dilematis. Sebab, obat dalam bentuk sirup banyak digunakan untuk anak yang belum bisa menelan obat bentuk tablet atau kapsul.
Selain itu, penghentian penggunaan obat sirup berdampak bagi anak-anak penderita penyakit kronis yang harus minum obat sirup rutin. Misal, anak dengan epilepsi, ketika obatnya dihentikan atau diubah bentuk bisa saja menjadikan kejang tidak terkontrol.
"Mestinya ini diatur bijaksana dengan tetap mempertimbangkan resiko dan manfaat. Memang saat ini resiko terjadi gagal ginjal akut dianggap lebih besar dengan penggunaan sirup, sehingga disarankan penghentian, tapi seharusnya tidak disamaratakan," ujar Zullies.