REPUBLIKA.CO.ID,PEKALONGAN -- Dampak krisis iklim yang terjadi di wilayah pantai utara (pantura) Jawa Tengah, khususnya Kota Pekalongan, tidak hanya mengancam lingkungan sosial kawasan pesisir di daerah ini.
Keberadaan kota Pekalongan sebagai kota kreatif --Craft and Folks Art-- juga kian terancam oleh problem lingkungan yang ditandai oleh lajunya penurunan permukaan tanah (land subsidence).
Seperti diketahui, Kota Pekalongan menjadi salah satu sentra batik --yang menjadi bagian dari identitas budaya Indonesia-- dan telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Galdita A Chulafak mengatakan, temuan BRIN menunjukkan laju penurunan permukaan tanah di wilayah pantai utara Jawa Tengah relatif tinggi.
"Laju penurunan paling tinggi terjadi di Kota Pekalongan," ungkapnya, dalam webinar dengan tema “Krisis Iklim: Ancaman Tenggelamnya Kota Pekalongan” yang digelar Satya Bumi dengan Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ), Kamis (3/11).
Jika menggunakan data penginderaan jauh atau remote sensing, lanjutnya, penurunan permukaan tanah di Pekalongan terjadi berbeda- beda mulai dari 4 hingga 11 centimeter per tahun.
Menurutnya, data juga menunjukkan terjadinya perubahan tutupan tanah di wilayah Pekalongan juga dipengaruhi oleh semakin bertambahnya pembangunan, wilayah tambak, wilayah pertanian terutama di hulu serta berkurangnya vegetasi/ hutan.
"Data BRIN juga menunjukkan adanya rekayasa pesisir di mana terjadi perubahan muara sungai yang tadinya aliran tidak langsung mengarah ke laut karena terhalang barrier sedimen, menjadi langsung ke laut dengan dibangunnya jetty dan dihilangkannya barrier alam.
Kondisi ini menyebabkan kota yang masyhur dengan batik itu rawan terdampak rob. Di kemudian hari, dampaknya diprediksi bisa jauh lebih besar jika tidak segera diatasi. "Jika tidak ada action tidak dapat dipungkiri Pekalongan akan tenggelam," tegasnya.
Ia juga mengungkap, jika mengambil rata- rata tengah laju penurunan tanah --6 centimeter per tahun-- hitungan tanpa memperhatikan parameter lain memungkinkan terjadinya penurunan muka tanah hingga 60 centimeter dalam 10 tahun ke depan.
Padahal sebagian wilayah Kota Pekalongan sudah ada yang mempunyai elevasi di bawah 0 mdpl. "Tinggal kita hitung, misalnya elevasi tertinggi adalah 4 mdpl atau 400 centimeter di atas permukaan laut dibagi enam, mungkin tenggelam seluruhnya sekitar 66 tahun lagi," tegas Galdita.
Pemateri dari Mercy Corps, Arif Ganda Purnama menyampaikan, risiko banjir di Kota Pekalongan dapat meningkat lima kali lipat dari sisi luasan dalam waktu 15 tahun ke depan.
Sementara itu hasil analisis dampak pada 41 kelurahan, kerugian yang ditimbulkan per tahun mencapai Rp 1,55 triliun pada 2020 dan diprediksi meningkat 30 kali lipat menjadi Rp 31,28 triliun pada tahun 2035.
"Untuk dapat menghindari skenario tersebut penanganan banjir slow-onset memerlukan transformasi tata kelola multi spektrum dengan visi bahwa banjir tidak memberikan dampak negatif bagi masyarakat," ujar dia.
Sementara itu, kepala Desa (Kades) Api- Api, Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan Qomarudin menyebut daerahnya termasuk yang kerap terkena rob.
Ia pun terus menggali asa dan harapan warga Wonokerto di tengah- tengah derasnya laju genangan air rob."Kita harus mengatasinya dengan aksi dan tindakan nyata," katanya.
Perencana Ahli Madya Bappeda Kota Pekalongan, Miftah menyebut strategi yang telah dilakukan pemerintah daerah mengatasi persoalan ini adalah dengan berkolaborasi bersama berbagai stakeholder.
Baik pemerintah, akademisi, swasta, LSM, dan masyarakat. Stragegi penanganan banjir dan rob juga dimasukkan dalam semua dokumen perencanaan pembangunan berikut dengan alokasi anggarannya.
Upaya mitigasi juga dilakukan dengan membangun infrastruktur pengendali banjir rob, layanan kebencanaan, pengembangan kawasan konservasi pesisir untuk perkuatan fungsi ekologi, pembatasan perijinan penggunaan Air Bawah Tanah (ABT) serta monitoring laju penurunan tanah.
"Permasalahan yang dialami oleh Kota Pekalongan dapat menjadi pembelajaran area perkotaan lain atas dampak perubahan iklim dan aktivitas perkembangan perkotaan," kata Miftah.