REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Ali Sahab menanggapi wacana sistem pemilihan proporsional tertutup yang diembuskan menjelang Pemilu 2024. Menurutnya, jika sistem tersebut benar-benar dijalankan, maka Indonesia bisa dikatakan mengalami kemunduran demokrasi.
"Dalam sistem pemilihan tertutup, masyarakat tidak mempunyai kebebasan dalam memilih calon legislatif (caleg), karena hanya memilih gambar partai," ujarnya, Jumat (20/1/2023).
Ali menjelaskan, berbeda dengan sistem pemilihan terbuka, sistem pemilihan tertutup membatasi pemilih untuk memilih partai politik secara keseluruhan. Nantinya kandidat legislatif ditentukan oleh partai sejumlah kursi yang didapatkan. Ali menyebutkan, mekanisme ini dapat berdampak pada turunnya tingkat partisipasi.
"Dikarenakan tidak adanya caleg yang dikenal dan dapat dipilih dalam surat suara," kata dia.
Di samping itu, kepemilikan hak dalam menentukan posisi dan urutan caleg yang berhasil melaju menjadi legislatif juga dapat berdampak pada kepengurusan partai. Menurutnya, sistem ini akan semakin memperkuat partai, khususnya pada posisi ketua partai.
"Sehingga dampak lainnya, kedudukan sebagai ketua partai akan menjadi rebutan," ujarnya.
Di Indonesia, kedua sistem itu sama-sama pernah digunakan. Sistem tertutup pernah digunakan pada Pemilu 1955 dan 1999. Sedangkan sistem terbuka diterapkan mulai Pemilu legislatif 2009 hingga 2019. Meski memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, menurut Ali, sistem terbuka menjadi sistem yang mendukung adanya aspek demokrasi bagi masyarakat.
"Sistem Pemilu terbuka merupakan sistem yang cukup mewakili keterwakilan daerah pemilihan. Artinya pemilih setengah tahu siapa yang menjadi wakilnya di tingkat legislatif," kata dia.