Senin 30 Jan 2023 16:01 WIB

Novel Berbahasa Ngapak Terbit, Ahmad Tohari: Lestarikan Bahasa Daerah

Ia menerbitkan novel ini dengan menggunakan nama pena Umi Asmarani.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Fernan Rahadi
Sumiyati atau Umi Asmarani, penulis novel berbahasa ngapak banyumasan berjudul Kaki Tupon lan Nini Rikem.
Foto: Dok. Pemkab Banyumas
Sumiyati atau Umi Asmarani, penulis novel berbahasa ngapak banyumasan berjudul Kaki Tupon lan Nini Rikem.

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS - Bahasa daerah kini semakin tertelan oleh zaman seiring dengan berkembangnya teknologi dan masuknya budaya asing. Keinginan untuk melestarikan bahasa daerahnya, yakni bahasa ngapak banyumasan, membuat Sumiyati (44 tahun), menulis novel berbahasa tersebut.

Warga Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas ini kemudian berhasil menerbitkan novel berbahasa panginyongan atau ngapak berjudul “Kaki Tupon lan Nini Rikem”.

"Tujuan saya menulis novel berbahasa banyumas adalah untuk melestarikan bahasa daerah supaya jangan sampai hilang dan punah,” kata Sumiyati, Senin (30/1/2023).

Ia menerbitkan novel ini dengan menggunakan nama pena Umi Asmarani. Sebelum menulis novel ini, Sumiyati juga pernah menulis novel “Istri Suamiku” dan “Bukan Menantu Idaman” di aplikasi Noveltoon.

Menurutnya, cerita tentang “Kaki Tupon lan Nini Rikem” atau dalam bahasa Indonesia berarti Kakek Tupon dan Nenek Rikem telah ditayangkan juga secara daring lewat media sosial Facebook dan para pembaca yang minta untuk dibukukan.

Novel ini mengisahkan kehidupan keluarga penderes kelapa yang bisa menyekolahkan keempat anaknya hingga perguruan tinggi.

Menurut Sumiyati, kisah yang diramu dalam novel terbitan Satria Publisher tersebut merupakan kumpulan memori dari masa kecilnya periode 1980-an di mana dirinya lahir dari seorang bapak yang adalah penderes kelapa dan ibunya seorang pembuat gula merah.

"Ini baru jilid satu, nanti akan ada jilid-jilid berikutnya,” kata Sumiyati.

Lewat novel setebal 202 halaman itu, Sumiyati tak hanya menggambarkan penderitaan dari keluarga miskin di perdesaan, tapi juga ingin menyampaikan betapa keras perjuangan orangtua agar dapat menyekolahkan anaknya hingga menjadi orang sukses.

"Rintangan apapun bisa dilewati sampai nanti anak-anak mereka jadi orang sukses," tuturnya.

Budayawan Banyumas Ahmad Tohari mengapresiasi terbitnya novel berbahasa panginyongan itu, lantaran bahasa daerah kini terancam punah dan perlu terus dilestarikan. Apalagi bahasa daerah adalah puncak dari kebudayaan daerah.

"Puncak kebudayaan daerah itu bukan lengger, bukan ebeg (kuda lumping), tapi bahasa itu sendiri yang menjadi utama. Kesenian tradisional seperti lengger dan ebeg itu ada parikan (puisi rakyat) menggunakan bahasa banyumas,” papar Tohari yang juga penulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”.

Menurut Tohari, untuk memajukan suatu bangsa, dibutuhkan gerakan literasi yang masif. Lewat membaca dan menulis, seseorang dituntut untuk kreatif sekaligus peka terhadap kearifan juga kegelisahan yang ada di sekitarnya.

Mengutip peribahasa Latin “Scripto ergo sum” atau "aku menulis, maka aku ada,", Tohari menegaskan, lewat membaca dan menulis, seseorang tidak akan lenyap ditelan zaman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement