Kamis 16 Feb 2023 19:08 WIB

Tuai Polemik, UGM Kaji Pemberian Gelar Profesor Kehormatan

Sekretaris Rektor UGM menekankan setiap pandangan dihargai dan dihormati.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Kampus UGM Yogyakarta.
Foto: Yusuf Assidiq
Kampus UGM Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Gadjah Mada (UGM) buka suara soal isu pemberian gelar profesor kehormatan. Ketua Tim Kajian Regulasi Profesor Kehormatan UGM, Andi Sandi Antonius, saat ini tengah melakukan kajian akademik terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.

"Kajian ini dimaksudkan untuk mendudukkan pemberian profesor kehormatan dengan prudent, sehingga marwah UGM sebagai lembaga pendidikan tinggi tetap terjaga," kata Andi dalam keterangan tertulis, Kamis (16/2/2023).

Sebelumnya rencana pemberian gelar profesor kehormatan menuai polemik. Sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada menyatakan sikap atas peraturan tersebut.

Sekretaris Rektor UGM, Wirastuti Widyatmanti, menekankan bahwa di UGM setiap pandangan dihargai dan dihormati. Hal tersebut menjadi dasar UGM melakukan kajian terjadap Permendikbudristek tersebut.

"Hasil akhir dari kajian tersebut akan disampaikan kepada kementerian dan menjadi dasar langkah UGM ke depannya," ungkapnya.

Sebelumnya diberitakan dokumen berisi penolakan sejumlah dosen UGM atas penganugerahan gelar profesor kehormatan kepada individu-individu di sektor non-akademik viral di dunia maya. Dokumen tersebut awalnya diunggah oleh akun @shidiqthoha dan telah dikonfirmasi Republika untuk diberitakan. Adapun dokumen tersebut berisi enam poin.

"Profesor merupakan jabatan akademik, bukan gelar akademik. Jabatan akademik memberikan tugas kepada pemegangnya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban akademik. Kewajiban-kewajiban akademik tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pekerjaan dan atau posisi di sektor non-akademik," bunyi poin pertama dokumen tersebut dikutip Rabu (15/2/2023).

Poin kedua berbunyi pemberian gelar Honorary Professor (Guru Besar Kehormatan) kepada individu yang berasal dari sektor non-akademik tidak sesuai dengan kepatutan Dalam poin selanjutnya ditegaskan bahwa Guru Besar Kehormatan seharusnya diberikan kepada mereka yang telah mendapatkan gelar jabatan akademik profesor.

"Jabatan Profesor Kehormatan tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas dan reputasi UGM. Justru sebaliknya, pemberian Profesor Kehormatan akan merendahkan marwah keilmuan UGM," tulis poin 4 dokumen tersebut.

Kemudian poin berikutnya juga dituliskan bahwa pemberian Profesor Kehormatan ini akan menjadi preseden buruk dalam sejarah UGM dan berpotensi menimbulkan praktik transaksional dalam pemberian gelar dan jabatan akademik. Selain itu Pemberian Profesor Kehormatan seharusnya diinisiasi oleh departemen yang menaungi bidang ilmu calon Profesor Kehormatan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akademik sesuai bidang ilmunya.

"Berdasarkan poin-poin di atas, kami dosen-dosen UGM menyatakan menolak usulan pemberian gelar Guru Besar Kehormatan kepada individu-individu di sektor non-akademik, termasuk kepada pejabat publik," bunyi dokumen tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement