REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Gadjah Mada resmi mengukuhkan Alin Isnansetyo sebagai Guru Besar bidang Bioteknologi Perikanan dan Kelautan pada Fakultas Pertanian UGM, Selasa (21/2/2023) di Balai Senat UGM. Dalam pidaton pengukuhannya berjudul 'Imunologi Untuk Mendukung Pengelolaan Kesehatan Ikan Pada Akuakultur', Alin menyampaikan akuakultur insentif akan berkembang semakin cepat di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia sebagai bentuk respon terhadap peningkatan produk perikanan. Namun di sisi lain, kuantitas produk perikanan hasil tangkap mengalami stagnasi bahkan cenderung menurun.
"Problematika terbesar dalam akuakultur intensif adalah wabah penyakit, di samping semakin mahalnya harga pakan," kata Alin, Selasa.
Ketua Departemen Perikanan itu menuturkan ada sejumlah penyakit yang menyebabkan kerugian besar pada akuakultur air tawar. Beberapa di antaranya adalah aeromoniasis, streptococciosis, mycobacteriosis, flexibacteriosis, koi herpes virus, tilapia lake virus, serta ichthyophthiriasis. Sementara pada akuakultur laut sering ditemukan penyakit streptococciosis, vibriosis, big belly disease, scale drop disease, viral nervous necrosis, iridovirus, mouth rot, tail rot, dan serangan berbagai parasit.
Alin menyebutkan bahwa ikan sangat tergantung pada imun non spesifik dalam menghadapi wabah penyakit. Hal itu dikarenakan adanya keterbatasan intrinsik antibodi spesifik yang diproduksi dibandingkan dengan mamalia dan unggas. Oleh sebab itu, produksi benih unggul dengan kriteria ketahanan terhadap penyakit menjadi parameter penting selain pertumbuhan dan sintasan.
"Pada tataran teknis, penggunaan bibit unggul perlu dibarengi usaha peningaktan kekebalan tubuh ikan non spesifik dengan m engembangkan dan menerapkan tidka hanya metode tunggal namun kombinasi beberapa metode pengendalian penyakit," jelasnya.
Menurutnya, penggunaan bio-informatik untuk mempelajari sistem kekebalan ikan dan menemukan teknologi pengendalian penyakit perlu digalakkan. Pemanfaatan sumber daya akuatik Indonesia, baik mikroorganisme maupun makroorganisme di perairan tawar maupun laut perlu lebih intensif dengan penerapan bioteknologi. Langkah tersebut penting dilakukan untuk meningkatkan inovasi immunostimulan, probiotik, prebiotik, sinbiotik, posbiotik, vaksin, mikrobiom, aplikasi quorum quensing, dan pakan fungsional.
Alin juga mengatakan pengembangan vaksin ikan juga perlu memanfaatkan konsep-konsep baru seperti virus-like partikel, gene editing, vakisn DNA/RNA, dan reverse genetic vaccine. Produk hasil inovasi tersebut diharapkan bisa menggantikan antibiotik untuk pengendalian penyakit ikan yang ramah lingkungan.
Alin menyampaikan fasilitas, pendanaan, kemudahan, dan dukungan yang memadai dari pemerintah sangat diperlukan. Selain itu, kebijakan untuk memberikan kemudahan dan fasilitas khusus untuk hilirisasi dan komersialisasi berbagai produk bioteknologi kelautan dan perikanan yang dihasilkan anak bangsa sangat diperlukan agar produk lolal dapat bersaing dengan produk impor. Lalu, kriteria evaluasi dalam pemberian izin edar juga perlu disesuaikan dengan perkembangan bioteknologi saat ini tanpa mengurangi urgensi kriteria kemanan terhadap konsumen, lingkungan, termasuk ekosistem perairan dan ikan yang dibudidayakan.