Rabu 01 Mar 2023 16:09 WIB

PM Jepang: Larangan Pernikahan Sesama Jenis Bukan Diskriminasi

Dia bersikeras pernikahan sesuai konstitusi adalah pernikahan hereseksual.

Rep: Rizki Jaramaya/ Red: Fernan Rahadi
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menyampaikan pidato pada sesi pembukaan Dialog Global Tokyo, Senin, 20 Februari 2023, di Tokyo.
Foto: AP Photo/Eugene Hoshiko
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menyampaikan pidato pada sesi pembukaan Dialog Global Tokyo, Senin, 20 Februari 2023, di Tokyo.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan larangan pernikahan sesama jenis tidak diskriminatif. Dia bersikeras bahwa kebebasan pernikahan yang sesuai konstitusional adalah pernikahan heteroseksual.

"Saya tidak berpikir melarang pasangan sesama jenis untuk menikah adalah diskriminasi yang tidak adil oleh negara," ujar Kishida di hadapan seorang anggota parlemen oposisi di komite anggaran parlemen pada Selasa (28/2/2023).

Partai Demokrat Liberal yang berkuasa dikenal dengan nilai-nilai keluarga konservatif dan enggan untuk mempromosikan kesetaraan gender dan keragaman seksual. Sikap ini sebenarnya merupakan oposisi utama terhadap legalisasi pernikahan sesama jenis dan ukuran kesetaraan lainnya untuk orang-orang LGBTQ.

Komentar Kishida memicu kritik dari anggota parlemen oposisi dan aktivis LGBTQ, yang mempertanyakan apakah Kishida mundur untuk menunjukkan pertimbangan ultra-konservatif di partainya yang menentang keragaman seksual. Pada pertengahan Februari lalu, Kishida bertemu dengan perwakilan LGBTQ. Ketika itu, Kishida mengatakan, perlu ada diskusi lebih lanjut terkait legalisasi pernikahan sesama jenis. 

Kishida kembali menegaskan, larangan pernikahan sesama jenis bukanlah inkonstitusional. Kishida juga membantah bahwa dia bersikap diskriminatif. "Saya percaya saya tidak memiliki rasa diskriminasi (tentang masalah LGBTQ). Dan saya tidak pernah menyatakan saya menentangnya," kata Kishida.

Pernyataan diskriminatif mantan ajudan Kishida, Masayoshi Arai tentang orang-orang LGBTQ memicu kemarahan nasional, dan mendorong pemerintah Kishida untuk memberlakukan undang-undang anti-diskriminasi. Pada awal Februari, Arai mengatakan kepada wartawan bahwa, dia tidak ingin tinggal di sebelah orang-orang LGBTQ. Dia juga mengatakan, warga negara akan meninggalkan Jepang jika pernikahan sesama jenis diizinkan.

Seorang anggota parlemen dari Partai Komunis Jepang, Toru Miyamoto, pada Rabu (1/3/2023) bertanya kepada Kishida tentang pertemuannya dengan perwakilan LGBTQ. Miyamoto juga mencatat survei media baru-baru ini dan inisiatif pemerintah daerah yang memperkenalkan kemitraan tidak mengikat. Dia juga mengatakan kepada Kishida bahwa dukungan untuk pernikahan sesama jenis sekarang mewakili mayoritas opini publik.

Sejak kontroversi meletus, Kishida menunjuk seorang pembantu khusus untuk masalah LGBTQ dan menginstruksikan partainya untuk menyiapkan undang-undang guna mempromosikan pemahaman tentang hak-hak LGBTQ. Aktivis sekarang mendesak pemerintah untuk memberlakukan undang-undang anti-diskriminasi sebelum Jepang menjadi tuan rumah pertemuan puncak Kelompok Tujuh (G7)) pada Mei di Hiroshima.  

Jepang adalah satu-satunya anggota G7 yang belum mengakui pernikahan sesama jenis atau memberlakukan undang-undang antidiskriminasi untuk orang-orang LGBTQ. Pemerintah Jepang mengatakan, mengizinkan pernikahan sesama jenis akan mengubah nilai-nilai masyarakat dan keluarga, sehingga harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Hal ini dilihat sebagai indikasi keengganan Kishida untuk mempromosikan persamaan hak bagi orang-orang LGBTQ meskipun dia berjanji untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan beragam dalam masyarakat.

Kampanye untuk persamaan hak bagi orang-orang LGBTQ telah dihalangi, terutama oleh kaum konservatif di Partai Demokrat Liberal.  Upaya untuk memberlakukan undang-undang promosi kesadaran kesetaraan menjelang Olimpiade Tokyo 2021 dibatalkan oleh partai tersebut.

Sementara survei menunjukkan, dukungan publik untuk pernikahan sesama jenis meningkat. Namun upaya pemerintah untuk mendukung keragaman seksual di Jepang masih lambat dan perlindungan hukum masih kurang untuk orang-orang LGBTQ.  Lesbian, gay, biseksual dan transgender sering menghadapi diskriminasi di sekolah, pekerjaan dan rumah di Jepang. Hal ini menyebabkan banyak orang menyembunyikan identitas seksual mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement