REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Di tengah gegap gempita digitalisasi dan percepatan urbanisasi, sebuah oase gerakan literasi tumbuh dari dusun kecil di pinggir barat Yogyakarta. Dusun Betakan, Desa Sumbersari, Kecamatan Moyudan, Sleman yang biasanya luput dari perhatian kebijakan pusat kini menjadi rumah bagi inisiatif yang mengusung harapan besar yakni Yayasan Literasi Desa Tumbuh (LDT).
Didirikan pada Juli 2024 oleh pasangan Desy Ery Dani, mantan dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Diponegoro, dan Noor Huda Ismail, peneliti dan pembuat film dokumenter yang kini menjadi visiting fellow di RSIS NTU Singapura, LDT muncul dari kepedulian akan rendahnya akses literasi anak-anak desa terhadap buku bacaan yang berkualitas.
"Awalnya saya hanya ingin membuat perpustakaan kecil di samping garasi rumah keluarga, agar anak-anak bisa membaca buku seperti anak-anak di kota," kata Desy yang kini menetap di Singapura bersama keluarganya.
Namun Noor Huda Ismail, sang suami, menyarankan agar gagasan sederhana itu dikembangkan menjadi gerakan yang lebih luas. Dari situlah lahir LDT, sebuah yayasan yang menggabungkan semangat literasi, pemberdayaan perempuan, penguatan komunitas, dan keberlanjutan.
"Karena Indonesia ini seluruh dunia peringkat kedua dari bawah minat bacanya," ujar Noor Huda kepada warga dalam perayaan 'Satu Tahun LDT: Bertumbuh Bersama Warga' di pelataran Yayasan Literasi Desa Tumbuh, Dusun Betakan, Moyudan, Kabupaten Sleman, Ahad (20/7/2025).

Dengan menempati lahan seluas 1.800 meter persegi, Noor Huda menegaskan LDT bukan sekadar perpustakaan, melainkan sebuah ruang hijau edukatif berbasis komunitas yang mengusung pendekatan green place making. Filosofi ini menjadikan literasi tidak hanya sebatas urusan membaca dan menulis, melainkan proses hidup bersama secara sadar terhadap lingkungan, budaya, dan manusia lain.
LDT mengembangkan kegiatan yang terbagi dalam beberapa ruang tematik yakni Ruang Baca, Ruang Seni, dan Ngobrol Bareng, yang kesemuanya saling terhubung secara fisik dan konseptual. Pendekatan ini memungkinkan literasi hadir dalam berbagai bentuk dan media: dari lembaran buku, alunan angklung, hingga aroma kue tradisional dari pawon desa.
Selama satu tahun pertama perjalanannya, LDT telah menggelar di antaranya 53 sesi Ruang Baca bersama anak-anak, enam pementasan angklung anak-anak, enam pementasan angklung ibu-ibu, tujuh pementasan tari tradisional, dan enam sesi diskusi terbuka dengan tema seputar keluarga, kesehatan mental, hingga profesi masa depan.
Salah satu pijakan kuat LDT adalah pemberdayaan perempuan desa. LDT melihat peran perempuan tidak hanya sebagai pendamping, tapi juga agen perubahan yang strategis. Untuk itu, LDT menghadirkan program-program yang berfokus pada penguatan kapasitas perempuan, khususnya di bidang ekonomi keluarga dan ketahanan pangan.
Pada perayaan ulang tahun pertama, LDT berkolaborasi dengan Bola Deli menyelenggarakan Workshop Jajanan Pasar Berbasis Tepung Beras, diikuti oleh lebih dari 30 ibu-ibu dari sekitar dusun. Program ini bertujuan menggali potensi lokal berupa kuliner berbasis tepung tradisional, sekaligus memperkenalkan keterampilan baru yang bisa dikembangkan menjadi produk ekonomi kreatif.
"Bola Deli mendukung pelestarian warisan kuliner Nusantara melalui dapur literasi ini. Ibu-ibu adalah penjaga pangan sekaligus pilar ekonomi keluarga. Literasi kuliner seperti ini menjadi bagian penting dari ketahanan pangan masyarakat,” ujar Chef Joko dari Bola Deli.

Kegiatan ini juga melibatkan mahasiswa dari Poltekpar NHI Bandung, Nasya dan Arini, yang memberikan pelatihan pengolahan patiseri tradisional. Dengan hadirnya pihak swasta dan lembaga pendidikan tinggi, sinergi antara pengetahuan, pasar, dan komunitas mulai tumbuh secara sehat.
Di LDT, seni bukan sekadar hiburan. Ia adalah alat pembangun karakter dan jembatan antar generasi. Ruang Seni menjadi ruang berkesenian ibu-ibu dan anak-anak, dari latihan angklung mingguan hingga pertunjukan tari tradisional yang dikemas secara modern oleh Shindy, penari profesional lulusan ISI Surakarta.
Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan ekspresi budaya, tetapi juga membangun rasa percaya diri, keberanian tampil, dan kerja sama antargenerasi. "Anak saya dulu sangat pemalu, tapi sejak ikut latihan angklung dan pentas, dia jadi lebih terbuka dan percaya diri," ujar salah satu orang tua peserta.
Lebih dari sekadar membaca, Ruang Baca dirancang sebagai ruang dialog. Anak-anak diajak mengenal keberagaman profesi, mendengarkan kisah para relawan seperti pemadam kebakaran, bidan desa, guru, musisi, hingga penyandang disabilitas. “Kami ingin membentuk anak-anak yang punya empati dan nalar kritis, bukan hanya pintar, tapi juga peduli,” ungkap Amsa Nadzifah, Ketua LDT sekaligus alumni University of Melbourne, Australia.
LDT secara sadar menjadikan literasi sebagai alat untuk membangun kesadaran sosial, memperkenalkan nilai inklusi, serta memanusiakan manusia dalam pengertian yang paling dasar.
Kekuatan LDT juga terletak pada keterlibatan generasi muda dari dusun itu sendiri. Sosok-sosok seperti Amelia Sekar (alumni UNY) dan beberapa relawan muda lainnya kini menjadi penggerak aktif dalam kegiatan harian yayasan. Mereka tidak hanya hadir sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai role model yang menunjukkan bahwa desa tidak kekurangan pemimpin, hanya butuh ruang untuk tumbuh.
Setahun perjalanan adalah waktu yang singkat, tetapi cukup untuk membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari titik kecil. LDT telah menjadi contoh bagaimana literasi, ketika dimaknai secara luas dan dijalankan dengan hati, bisa menjadi alat transformasi sosial yang nyata.
Ke depan, LDT berkomitmen memperluas dampaknya, menggandeng lebih banyak mitra lintas sektor, mereplikasi program di desa lain, serta terus mengembangkan konten literasi yang kontekstual dan relevan bagi komunitas. Dengan pendekatan partisipatif, berbasis budaya lokal, dan menjunjung prinsip keberlanjutan, LDT ingin menjadi model gerakan literasi desa yang adaptif di tengah dunia yang terus berubah.
"Yayasan Literasi Desa Tumbuh bukan hanya tentang buku dan perpustakaan. Ini adalah cerita tentang ibu-ibu yang menemukan suara, tentang anak-anak yang menemukan mimpi, dan tentang desa yang percaya pada potensi dirinya sendiri," ujar Noor Huda.