Oleh : Gerry Katon Mahendra, S.IP., M.I.P.*
REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia memiliki latar belakang dan sejarah panjang mengenai perbedaan dan keberagaman. Sejak zaman penjajahan hingga menuju kemerdekaan, perbedaan agama, suku, dan bahasa menjadi pengiring utama dalam proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan tersebut kemudian memunculkan konsep kesepakatan. Konsep kesepakatan Dar al-Ahdi Wa al-Syahadah dapat diartikan sebagai bentuk negara kesepakatan dan persaksian.
Secara historis pemahaman Darul Ahdi lahir dari kesepakatan tokoh-tokoh agama, terutama agama Islam. Sedangkan Al-syahadah sebagai wujud nyata dalam mengatasi berbagai masalah, bekerja keras dalam mewujudkan kemaslahatan, dan aksi partisipatoris dalam proses membangun bangsa Indonesia. Negara Indonesia yang kemudian bersepakat menjadikan Pancasila sebagai landasan dipahami sebagai ideologi negara hasil konsensus segenap elemen bangsa (dar al-ahdi) dan sekaligus sebagai tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk mewujudkan negara yang aman dan damai (dar al-salam). Nilai ideal yang dicita-citakan tercatat dalam Qs Al-Araf: 96, Al-Dzariat: 56, Hud: 61, Al-Baqarah: 11 dan 30, Ali Imran: 110 dan 112, Al-Hujurat: 13.
Sayangnya, semangat kesepakatan dan persaksian tersebut saat ini cukup kontras produktif dengan kondisi bangsa. Kasus korupsi, kekerasan, hingga upaya adu domba politik menjadi krisis utama bangsa saat ini. Terlebih berbagai kasus yang terjadi akhir-akhir ini, korupsi dan gaya hidup mewah pejabat daerah dan pusat, kekerasan jalanan begal hingga klitih, hingga wacana tak kunjung usai mengenai penundaan pemilu 2024 yang harus menjadi perhatian besar dari umat Islam. Berkat masalah-masalah tersebut, energi bangsa seolah habis hanya untuk mengurusi berbagai masalah yang seharusnya dapat dihindari apabila seluruh elemen bangsa ini sadar bahwa negara ini butuh diselamatkan, negara ini butuh bersepakat dan bersaksi bersama melangkah ke arah yang lebih baik lagi. Sayangnya momen tersebut terlupakan, tidak disadari dan diacuhkan.
Sebagai umat Muslim, sudah selayaknya kita kembali memperhatikan dan peduli. Sudah saatnya umat Muslim Kembali sadar dan peka bahwa spirit Dar al-Ahdi Wa al-Syahadah harus mampu menjadi landasan utama dalam menyelamatkan bangsa dari krisis dan keterpurukan. Sikap sepakat terhadap landasan konstitusi, sikap sepakat terhadap pemberantasan korupsi, sikap sepakat terhadap memerangi kekerasan serta menerapkan hal tersebut dengan semangat partisipatif. Terlebih dalam suasana Ramadhan kali ini seharusnya mampu menjadi momen yang tepat untuk memperbaiki perilaku kenegaraan seluruh elemen yang ada di dalamnya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Hujurat [49] ayat 13: يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ Artinya, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti” (QS Al-Hujurat [49]: 13). Pesan yang disampaikan jelas bahwa sebagai negara yang heterogen dengan berbagai kompleksitas yang ada, bersatu, bersepakat dan bekerjasama dalam kebaikan merupakan langkah penentu dalam menjadikan negara ini menjadi lebih baik lagi.
*Administrasi Publik UNISA Yogyakarta