Senin 12 Jun 2023 13:47 WIB

Polda Jateng Ungkap 26 Kasus TPPO, Jumlah Korban Capai 1.305 Orang

Sedikitnya 33 orang telah diamankan dan ditetapkan sebagai tersangka.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
 Kepala Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Polda Jawa Tengah, Brigjen Pol Abiyoso Seno Aji, saat memberikan keterangan pada konferesni pers pengungkapan kasus TPPO, di lobi Mapolda Jawa Tengah, Senin (12/6).
Foto: Dokumen
Kepala Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Polda Jawa Tengah, Brigjen Pol Abiyoso Seno Aji, saat memberikan keterangan pada konferesni pers pengungkapan kasus TPPO, di lobi Mapolda Jawa Tengah, Senin (12/6).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Sedikitnya 1.305 orang warga Jawa Tengah diduga telah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok penempatan dan pengiriman pekerja migran ke luar negeri.

Dari jumlah ini, sebanyak 1.137 orang di antaranya telah dikirim dan dipekerjakan ke luar negeri dan sisanya sebanyak 168 orang belum sempat diberangkatkan dan ditempatkan ke luar negeri.

Jumlah ini didasarkan pada akumulasi dari 26 kasus dugaan TPPO yang diungkap oleh jajaran kepolisian di wilayah hukum Polda Jateng selama sepekan terakhir atau periode 6 Juni hingga 12 Juni 2023 ini.

Kepala Satgas TPPO Polda Jateng, Brigjen Pol Abiyoso Seno Aji mengungkapkan, dalam sepekan terakhir jajaran kepolsian telah mengungkap sedikitnya 26 kasus dugaan TPPO di berbagai kabupaten/kota di Jateng.

Antara lain di wilayah hukum Polresta Magelang, Polres Demak, Polres Brebes, Polres Semarang, Polres Pemalang, Polres Batang, Polresta Pati, Polres Kebumen, Polresta Banyumas, Polres Tegal, dan Polres Banjarnegara.

“Termasuk kasus DPPO yang diungkap oleh jajaran Ditreskrimum Polda Jateng,” jelas Abiyoso, dalam konferensi pers ungkap kasus TPPO yang dilaksanakan di lobi Mapolda Jateng, Senin (12/6/2023).

Dalam pengungkapan kasus selama sepekan terakhir tersebut, jelas wakapolda Jateng ini, sedikitnya 33 orang telah diamankan dan ditetapkan sebagai tersangka.

Sebanyak 10 orang tersangka berasal dari pihak perusahaan penyalur pekerja migran. Adapun 23 orang lainnya merupakan perorangan karena perannya dalam merekrut dan meyalurkan para korban ke penyalur tenaga migran ilegal.

Jumlah korban dari dugaan TPPO ini mencapai 1.305 orang. “Yang telah diberangkatkan ke luar negeri sebanyak 1.137 orang dan yang belum berangkat ada 168 orang,” katanya.

Motif dari seluruh kasus yang telah diungkap ini, jelas Abiyoso, semuanya hampir sama, yakni untuk mendapatkan uang (keuntungan) dari aktivitas merekrut dan menyalurkan masyarakat Jateng ke luar negeri.

Banyak di antara para korban pada awalanya dijanjikan pekerjaan di negara asing, baik sebagai anak buah kapal (ABK), karyawan di perusahaan, hingga menjadi asisten rumah tangga (ART). Namun dalam proses pemberangkatan ini banyak yang menyalahi aturan.

Misalnya adanya ketidaksesuaian antara visa dengan paspor. “Para korban diberangkatkan dengan tujuan untuk dipekerjakan, namun mereka diberangkatkan dengan visa dan paspor untuk kegiatan wisata,” jelasnya.

Kemudian, masih kata Abiyoso, ada pula para korban telah diberangkatkan dan setelah tiba di negara tujuan, ternyata tidak sesuai dengan pekerjaan yang dijanjikan oleh penyalur tenaga kerja ke luar negeri tersebut.

“Pada kenyataannya setelah mereka tiba di negara tujuan, bidang kerjanya tidak sesuai (berbeda) dengan apa yang telah dijanjikan,” jelasnya.

Dari kasus dugaan TPPO yang telah diungkap oleh jajaran Polda Jateng ini, ungkap Abiyoso, diharapkan masyarakat yang merasa menjadi korban kegiatan pemberangkatan pekerja migran ini mohon secepatnya melapor.

Bisa kepada aparat kepolisian terdekat di daerahnya masing-masing, maupun langsung melapor ke Satgas TPPO Poda Jateng.

Masyarakat juga diimbau jangan terlalu mudah tergiur tawaran bekerja di luar negeri dengan iming-iming pendapatan yang lebih besar. Mengingat syarat dipekerjakan di negara asing salah satunya adalah keterampilan.

Dalam pengungkapan kasus ini polisi juga menemukan fakta banyak mereka yang menjadi korban karena spek keterampilan yang dimiliki tidak dibutuhkan di luar negeri, khususnya di negara tujuan.

Sehingga para pekerja migran tersebut selanjutnya mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya bahkan perlakuan yang tidak senonoh di negara tujuan. “Sehingga ketika kembali ke Jateng masyarakat melapor kepada polisi,” ungkap Abiyoso.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement