Kamis 06 Jul 2023 07:05 WIB

Tradisi Mbrandu Diduga Picu Antraks di Gunungkidul: Warga Iuran Beli Sapi Mati

Daging sapi tersebut lalu dibagikan kepada warga yang melakukan iuran.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Yusuf Assidiq
Bakteri antraks dilihat dari mikroskop.
Foto: daily mail
Bakteri antraks dilihat dari mikroskop.

REPUBLIKA.CO.ID, GUNUNGKIDUL -- Wabah antraks kembali merebak di Dusun Jati, Candirejo, Semanu, Kabupaten Gunungkidul, DIY. Berdasarkan hasil tes serologi yang dilakukan pada 143 orang, terdapat 87 orang yang positif terpapar antraks dan satu orang meninggal dunia.

Banyaknya warga yang terpapar tersebut diduga karena tradisi yang disebut dengan mbrandu. Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Gunungkidul, Retno Widyastuti menjelaskan, tradisi ini yang menyebabkan Gunungkidul sering terjangkit antraks.

"Iya itu adalah salah satu hal bikin kita tidak berhenti-berhenti ada antraks itu," ujar Retno Widyastuti.

Tradisi mbrandu yakni kegiatan membeli sapi mati atau sakit secara iuran bersama-sama yang dimaksudkan untuk meringankan kerugian pemilik ternak. Lalu daging sapi tersebut dibagikan kepada warga yang melakukan iuran.

Biasanya harga per paket daging akan dijual murah untuk membantu warga yang tidak mampu. "Satu paketnya itu dijual Rp 45 ribu. Uangnya dikumpulkan dikasihkan yang kesusahan, jadi itu tujuannya apik. Pas saya di sana bilang kalau mau mbrandu ya mbrandu barang sehat gitu, barang bermutu jadi tidak membahayakan manusia," katanya.

Tidak hanya ternak mati yang disembelih, lewat tradisi mbrandu tersebut mereka juga menyembelih hewan ternak yang keracunan lalu dipotong ketika sudah akan mati. Dalam kasus antraks sekarang ini, ternak yang dipotong adalah ternak yang sudah mati.

Hal ini yang menyebabkan kasus antraks berulang kali terjadi di Gunungkidul. Padahal salah satu cara agar antraks tidak menyebar adalah dengan menguburnya, sehingga bakterinya tidak menyebar.

"Kalau dipotong itu kan bakteri yang ada di darah itu mengalir keluar berubah menjadi spora. Spora itu yang tahan puluhan tahun, 40-80 tahun di tanah," jelas Retno.

Upaya yang dilakukan agar spora itu tidak menyebar yakni dengan menyiram tanah yang terkontaminasi spora dengan 50 liter formalin 10 persen. Retno menambahkan tidak terjadi proses penularan antar manusia, tetapi dari lingkungan dan hewan lalu ke manusia.

Karena itu pihaknya berupaya melakukan sterilisasi tanah yang terkontaminasi. Selain itu, Pemkab Gunungkidul terus berupaya melakukan sosialisasi mengenai tradisi mbrandu ini. Apalagi saat ini pemerintah daerah sudah berhasil melokalisasi kasus ini hanya di Dusun Jati.

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Gunungkidul Sidik Hery Sukoco mengimbau warga masyarakat terutama yang memiliki ternak yang sudah sakit agar tidak disembelih. "Jangan dikonsumsi apalagi kalau sudah meninggal masih di-mbrandu. Kami edukasi kepada masyarakat agar kiranya hewan-hewan ternak yang sudah berpotensi sakit terpapar penyakit atau bahkan sudah meninggal mati itu jangan dikonsumsi," ujar Sidik.

Ia juga meminta warga masyarakat untuk senantiasa menjaga kebersihan lingkungan. Karena penyakit ini bisa saja ada di mana-mana, melalui tanah, rumput, yang lainnya melalui spora bakteri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement