Rabu 09 Aug 2023 14:47 WIB

'Etika Berdemokrasi Wujudkan Kebebasan Tanpa Kebablasan'

Perspektif hukum tidak boleh dipersepsikan atau ditafsirkan menurut kemauan sendiri.

Demokrasi Indonesia (ilustrasi)
Foto: republika
Demokrasi Indonesia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang tahun 2024, situasi perpolitikan Indonesia kian memanas. Belakangan, kita bisa menyaksikan bagaimana seorang Rocky Gerung melancarkan kritik ke pemerintah yang menurut sebagian pihak tidak sesuai dengan nilai kesantunan bangsa Indonesia. Kebebasan berdemokrasi warga negara Indonesia sepatutnya dilakukan sesuai dengan norma, nilai, dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Pengamat politik yang juga aktif sebagai akademisi, Prof Sri Yunanto, menilai seorang public figure yang bicara di depan umum, seharusnya menyadari bahwa ia punya tanggung jawab yang lebih besar dalam memilih diksi untuk menyampaikan pikirannya. Norma dan nilai yang berlaku di masyarakat selayaknya menjadi acuan moralitas siapapun dalam bersikap, apalagi jika ia menjadi panutan banyak orang.

"Jika dalam menyampaikan pendapat dilakukan tidak dengan beretika, bukan hanya bangsa ini nanti tidak menjadi bangsa yang beradab dan bermoral, tapi juga akan berpotensi menimbulkan konflik. Ungkapan-ungkapan tidak etis bisa saja menyulut emosi seseorang. Mungkin orang yang menjadi sasaran pembicaraan bisa saja terima dengan lapang dada, tapi apakah pengikutnya punya kemampuan yang sama?” ujar Prof Sri Yunanto di Jakarta, Rabu (9/8/2023).

Dirinya mengkhawatirkan, jika tidakan tidak beretika itu tidak diproses melalui jalur hukum, bisa menjadi preseden buruk di kemudian hari. Siapapun bisa saja mengatakan kalimat yang yang penuh diksi penghinaan, baik pada Presiden saat ini, Calon Presiden, ataupun Presiden selanjutnya, berdasarkan ketidaksukaannya, kemudian dibiarkan begitu saja.

"Jadi jangan sampai apa yang disampaikan jadi preseden, kemudian ada anggapan bahwa menyampaikan kritik bisa menggunakan kata-kata yang begitu jorok dan kasar. ‘Rocky Gerung saja tidak diproses hukum, berarti saya juga boleh dong berbuat demikian.’ Anggapan seperti ini kan bahaya sekali,” jelas Prof Sri Yunanto.

Ia menjelaskan bahwa perspektif hukum itu tidak boleh dipersepsikan atau ditafsirkan menurut kemauan sendiri. Misalnya, jika ada benda yang disebut dengan 'gelas' itu berarti persepsi masyarakat memang menyebutnya sebagai gelas.

"Lalu dengan menafsirkan sendiri, kemudian ada orang yang mengatakan bahwa ini bukan ‘gelas,’ Ini adalah ‘bola’. Bersikukuh memiliki persepsi yang sangat jauh dari pandangan umum. Pada proses hukum, nantinya akan diuji persepsi tersebut. Menurut orang lain, jaksa, pengacara, dan saksi ahli akan diminta pendapatnya. Akhirnya, hakim lah yang berhak memutuskan bahwa barang ini adalah gelas, bukan bola," kata Prof Sri Yunanto

Ia lalu menjelaskan, apakah ungkapan tertentu dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik atau tidak, itu nanti hukum yang menentukan. Mulai dari tahap yang paling awal, misalnya verifikasi, penyelidikan, penyidikan, kemudian dilaporkan menjadi BAP (Berita Acara Pemeriksaan). BAP nanti disidangkan dan dituntut oleh jaksa.

Menrutnya, proses hukum ini sebenarnya dilakukan untuk mencapai kebenaran. Apakah benar seseorang yang dituduh mencemarkan nama baik, melakukan ujaran kebencian, atau menistakan agama, itu memang melakukan hal tersebut? Ini yang perlu dibuktikan melalui jalur hukum.

Ia menambahkan, Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi dalam perpolitikannya. Demokrasi berarti kekuasaan tertinggi sejatinya ada di tangan rakyat, yang juga berarti bahwa siapapun bebas menyatakan opininya. Namun, perlu dipahami bahwa demokrasi yang dianut memiliki batasan tertentu sehingga rakyat yang memiliki kebebasan berpendapat tidak menabrak norma atau hukum yang telah disepakati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement