Rabu 23 Aug 2023 07:13 WIB

Pakar Imbau Warga tak Biasakan Bakar Sampah 

Sudah saatnya sampah dikelola mandiri hingga tingkat rumah tangga masing-masing.

Membakar sampah (ilustrasi)
Foto: Republika
Membakar sampah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kota Jakarta dan Yogyakarta saat ini tengah menghadapi persoalan lingkungan yang terkait dengan polusi udara dan kegawatdaruratan pengelolaan sampah. Jakarta beberapa waktu belakangan ini ditetapkan dalam kondisi polusi udara terburuk di dunia, sedangkan Yogyakarta menghadapi persoalan sampah yang menumpuk buntut penutupan TPA Piyungan karena kelebihan kapasitas. Meskipun demikian, masyarakat diminta untuk tidak membakar sampah karena menyebabkan polusi udara, risiko penyakit gangguan pernapasan, bahkan memicu penyakit kanker.

Peneliti pengelolaan sampah terintegrasi dari Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM, Wiratni, mengatakan mengatakan persoalan darurat sampah yang melanda DIY disebabkan karena daya tampung TPA Piyungan yang melebihi kapasitas. Seperti diketahui volume sampah yang masuk ke TPA Piyungan mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Baca Juga

Pada tahun 2013 jumlah sampah yang masuk mencapai 397 ton setiap harinya dan pada tahun 2023 ini sudah hampir mencapai 800 ton per hari. Menurutnya untuk mengurangi beban TPA Piyungan, sudah saatnya sampah dikelola secara mandiri di tingkat desa hingga tingkat rumah tangga masing-masing. 

"Sampah itu bisa dikelola secara mandiri dan skala kecil bisa menghasilkan uang," katanya dalam Diskusi Pojok Bulaksumur yang bertajuk 'Awas Sampah dan Udara Tak Sehat Mengancam' di Selasar Barat Gedung Pusat UGM, Senin (21/8/2023). 

Bagi Wiratni, pemerintah sudah melakukan upaya maksimal namun begitu perlu dukungan dari warga masyarakat dalam membantu pemerintah dalam bentuk memilah dan mengolah sampah secara mandiri. “Bukan masalah teknologinya tapi masyarakat kita tidak aware, kita masih berpikir asal sampah saya keluar dari rumah," katanya.

Ia menyebutkan bahwa sekitar 80 persen sampah di perkotaan adalah sampah organik. Menurutnya diperlukan edukasi dan kampanye soal mengolah sampah organik dengan mengolah sampah menjadi kompos dan pupuk cair. "Umumnya sampah yang tidak bisa dikelola itu hanya 10 persennya saja. Jika seluruh warga Jogja melakukan pemilahan dan pengolahan sampah mandiri maka TPA tidak harus mengelola  sampai sekian ratus ton sampah," paparnya dalam siaran pers yang diterima Republika, Rabu (23/8/2023).

Sementara dokter spesialis Paru dr Ika Trisnawati mengatakan membakar sampah bukan solusi dalam menyelesaikan persoalan sampah. Sebaliknya membakar sampah bisa memperparah tingkat polusi udara dan menimbulkan dampak risiko penyakit gangguan pernafasan.

"Polutan hasil pembakaran apapun bentuknya sifatnya toksik jika masuk ke kantong paru-paru menghasilkan dampak ringan sampai berat. dalam Jangka pendek bisa menimbulkan resiko terkena penyakit paru akut namun jangka panjang menimbulkan resiko  kanker karena adanya paparan senyawa karsinogenik," katanya.

Sementara pakar cuaca dan iklim dari Fakultas Geografi UGM Emilya Nurjani menuturkan polusi udara tidak hanya mengancam kota Jakarta namun juga kota-kota besar lainnya. Ia menjelaskan tingkat keparahan penentuan kualitas udara dideteksi dari kandungan gas hidrokarbon di udara. Ditambah dengan kondisi di tengah musim kemarau yang mendapatkan curah hujan lebih sedikit sehingga  sebaran gas di udara menjadi lebih lama.

Emilya juga sepakat bahwa kegiatan pembakaran sampah dan keluaran asap dari cerobong pabrik dan pembangkit listrik sangat mempengaruhi buruknya kualitas udara di kota-kota besar. "Saat pembakaran dengan luaran gas metan bisa menyebabkan polusi udara dan dampak terjadinya risiko perubahan iklim," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement