REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengelolaan sampah di Kota Yogyakarta terus menjadi tantangan hingga saat ini. Ditambah waktu yang tersisa kurang dari satu setengah bulan jelang penutupan total Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan pada 1 Januari 2026 mendatang, membuat Pemerintah Kota Yogyakarta harus bergerak cepat.
TPA terbesar di DIY yang berlokasi di Sitimulyo, Piyungan, Bantul itu telah menjadi penopang pembuangan sampah bagi Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta sejak tahun 1990-an. Seiring pertumbuhan penduduk dan peningkatan volume sampah, area yang awalnya dirancang menampung sampah dalam jangka panjang mulai mengalami kelebihan beban.
Berbagai perluasan zona landfill dilakukan, tetapi tidak mampu mengimbangi laju produksi sampah yang terus meningkat. Bahkan krisis berulang, penutupan sementara, bau menyengat, hingga penumpukan sampah telah menjadi persoalan lama yang akhirnya berpuncak pada keputusan penutupan permanen.
Menanggapi situasi ini, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo mengakui kondisi kritis tersebut dan terus memaksimalkan pengelolaan di hulu seperti di tingkat rumah tangga, kantor, dan usaha kecil. Hasto mengungkap produksi sampah di Kota Yogyakarta mencapai 300 ton, sedangkan pengolahan di Kota Yogyakarta baru di angka 190 ton per hari.
Selisih lebih dari 100 ton per hari itulah yang kini dikejar melalui percepatan pemilahan, pengurangan, dan daur ulang sampah organik maupun residu. Menurutnya, satu-satunya cara yang realistis untuk menyelesaikan selisih besar tersebut adalah dengan menekan volume sampah dari sumbernya.
"Kita bisa menyelesaikan sisanya itu dengan cara mereduksi di tingkat hulu. Kami akan tahu diri dan kami akan mereduksi di tingkat hulu sebanyak-banyaknya dengan target sampai 100 ton," ujar Hasto, Senin (17/11/2025).
"Kota yang baru mampu mengolah sampah 190 ton, sementara produksinya 300 ton," ucapnya.
Salah satu terobosan yang juga tengah dijalankan Kota Yogyakarta adalah pengumpulan sampah organik melalui skema emberisasi. Sampah dapur, sisa makanan, dan sayur dipisahkan sejak sumbernya.
"Kita kumpulkan sisa makanan, sisa sayur dengan ember itu kan, hari ini terkumpulnya 950 ember. Itu ya sudah mendekati 25 ton. Lumayan sudah mengurangi 25 ton, ya," ujarnya.
Hasto juga menyasar pengurangan sampah sapuan jalanan seperti daun dan ranting yang diproyeksikan bisa mengurangi tambahan 25 ton.
"Target saya untuk bisa mengurangi hampir 100 ton itu tercapailah sampai Januari (2026). Harapannya begitu, ya usaha keras lah itu," ungkap Hasto.
Terpisah, Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan DLH Kota Yogyakarta, Ahmad Haryoko, mengungkapkan Pemerintah DIY telah memberikan kuota tambahan pembuangan sampah sebesar 300 ton per pekan untuk membantu penanganan sementara. Namun, meski tambahan kuota sudah diberikan, hujan menjadi kendala besar di lapangan.
Haryoko menyebut kondisi sampah yang sangat basah menghambat kinerja mesin pengolah, termasuk insinerator. Akibatnya, belasan ton sampah per hari gagal diolah dan terpaksa menumpuk di depo sebagai tempat penampungan sementara. Situasi ini menambah tekanan pada sistem pengelolaan sampah kota, yang tengah menghadapi tantangan kapasitas dan cuaca yang tidak mendukung.
"Sampah yang masuk dalam kondisi basah semua. Kinerja mesin-mesinnya, dan insinerator itu berkurang, menurun," katanya.
Meski begitu, pemerintah, lanjutnya akan terus berusaha untuk memerangi persoalan sampah di Kota Yogyakarta ini termasuk mempersiapkan antisipasi lonjakan sampah di momen Nataru.
Sampai sata ini sudah ada delapan depo yang telah terpasangi timbangan. Haryoko memastikan pemasangan timbangan bukan untuk membatasi sampah warga, tetapi sebagai alat ukur agar produksi sampah selama Nataru dapat dipetakan dengan tepat.
"Rencana kita memang ada 13 titik (penimbangan sampah-Red), kecuali di Depo RRI Kotabaru karena lokasinya sangat terbuka. Jadi semua depo yang selama ini beroperasi akan dipasangi timbangan," kata dia.