Kamis 24 Aug 2023 12:16 WIB

Pakar Sebut Faktor-Faktor yang Pengaruhi Kualitas Udara di Yogyakarta

Peralihan dari kendaraan berbahan bakar minyak ke listrik dinilai bukan solusi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Pencemaran udara. Ilustrasi
Foto: Pixabay
Pencemaran udara. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar iklim dan bencana Universitas Gadjah Mada (UGM), Emilya Nurjani, mengatakan pembakaran sampah bukan satu-satunya penyebab yang memengaruhi kualitas udara di Yogyakarta. Menurutnya, ada banyak faktor lain, salah satunya pembakaran yang dihasilkan dari kendaraan bermotor. 

"Jadi, kalau kita bicara kualitas udara itu semua proses pembakaran sebetulnya itu akan mempengaruhi kualitas udara di suatu wilayah. Pembakaran itu kan tidak hanya pembakaran sampah. Kendaraan bermotor itu juga ada proses pembakaran," kata Emilya. 

Baca Juga

Selain itu pembakaran yang dihasilkan dari kegiatan memasak juga mempengaruhi kualitas udara yang ada di satu wilayah. Sedangkan menurutnya gas yang cukup berpengaruh terhadap perubahan iklim, yakni gas metan.  "Jadi kalau misalnya metan, selain dari sampah itu metan juga dihasilkan dari pertanian," ujarnya. 

Ia menilai yang menyebabkan sampah dikaitkan dengan perubahan kualitas udara karena

TPST Piyungan ditutup sementara, sehingga banyak masyarakat yang melakukan pembakaran sampah. Sebab pembakaran sampah merupakan cara yang paling mudah dan murah.

"Akibatnya hasil pembakaran itu tadi menghasikan debu, kemudian aerosol yang itu meningkatkan particullate mater-nya," katanya. 

Ia pun membandingkan kualitas udara Yogyakarta saat ini dengan saat pandemi. Menurut dia, kualitas udara jauh lebih baik pada saat adanya pembatasan aktivitas manusia. 

"Kalau kita bicara kualitas udara secara keseluruhan, sebelum pandemi itu sebetulnya posisi kita sama seperti sekarang, cuma setelah ada pandemi dimana pada saat pandemi orang pada WFH kemudian transformasi yang dijalanan berkurang industri berkurang, kualitas udara kita menjadi lebih bagus," kata dia. 

Namun demikian peralihan dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik dinilai bukanlah solusi. Menurut dia, akan selalu ada persoalan lain yang timbul dari perubahan tersebut. 

"Kalau kita melihat solusi dari perubahan lingkungan itu  tidak selalu dulu menggunakan bahan bakar batu bara menjadi listrik itu lebih baik, karena ada kebijakan pemerintah yang namanya life cycle assesment, Kita melihat suatu perubahan itu tidak hanya melihat nilainya secara fisik, tapi juga dampak-dampaknya," ujar dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement