REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 28 Oktober 1928 silam, para pemuda Indonesia berikrar untuk menaklukkan sekat-sekat primordial, perbedaan suku, bahasa, dan wilayah. Kini, di era Revolusi Industri 4.0 dan era Masyarakat 5.0, tantangan itu telah berevolusi. Medan juang generasi muda telah bergeser dari konfrontasi fisik di dunia nyata ke sebuah lanskap digital yang tak kasat mata.
Pengamat keamanan siber dan politik internasional, Miftahul Ulum mengungkapkan medan juang bagi generasi muda Indonesia, yakni dunia metaverse, kecerdasan buatan (AI), dan algoritma. Ketiganya, menurut Ulum, adalah kekuatan tak terlihat, yang berkontribusi membentuk kebiasaan, mempolarisasi pandangan, dan cara berfikir seseorang.
Menurut Ulum, disrupsi teknologi dan pergeseran budaya, menurut Ulum, bukanlah fenomena baru. Pada zaman Plato, ada perubahan budaya oral, di mana orang berpidato, berdebat berubah menjadi budaya tulisan. Perubahan tersebut menimbulkan dinamika di masyarakat kala itu. Namun, hal tersebut memberikan sebuah peluang dan resiko bagi peradaban manusia.
“Beberapa dekade belakangan, bersosialisasi secara fisik itu terdisrupsi oleh media sosial. Lalu sekarang media sosial terdisrupsi oleh metaverse,” ucap Miftahul Ulum di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Doktor bidang Cyber Security lulusan University of Warwick, United Kingdom ini mengatakan peluang di era teknologi digital bagi generasi muda sangatlah besar. Era ini memungkinkan Gen Z, Gen Alpha beralih dari sekadar konsumen menjadi global citizen creator, inovator, penggerak perubahan dan perdamaian yang dampaknya lintas batas.
“Mereka dapat membekali dirinya dengan pelajaran, keterampilan secara mandiri dan juga membangun komunitas untuk berbagi nilai kebaikan kepada masyarakat dan lingkungan,” ucap Ulum.
Namun, di balik persona teknologi digital yang sempurna, terdapat hubungan interpersonal yang tergerus, hilangnya rasa memiliki yang otentik (authentic sense of belonging) yang menjadi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam ruang digital, masyarakat secara tidak langsung diisolasi oleh logika algoritma. Interaksi dengan gawai menghambat perkembangan empati, kemampuan membaca emosi, dan resilience (ketahanan) dalam menghadapi konflik di dunia nyata.
“Algoritma itu akan cenderung mengisolasi kita dengan yang dekat (serupa), sehingga terisolasi secara ideologis,” kata Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) tersebut.
Kondisi inilah yang menjadi celah subur bagi infiltrasi propaganda ekstrem dan narasi kekerasan. Ulum mengingatkan bahwa ruang virtual yang imersif, seperti game di metaverse, kini telah menjadi inkubator baru radikalisasi.
Ulum menjelaskan, para ekstremis menyisipkan ideologi itu melalui percakapan, simbol permainan, dan ruang chat tertutup. "Ini lebih personal dan sulit dideteksi," kata Ulum.
Ulum membandingkan metode perekrutan. Jika dulu kelompok ekstremis membutuhkan proses profiling manual selama berbulan-bulan untuk mencari target yang rentan, kini algoritma melakukannya secara instan dan halus.
“Kalau sekarang, jauh lebih mudah,” ungkapnya dengan lugas. “Mereka tinggal mencari user yang sering bermain di game-game bertema kekerasan. Secara psikologis, individu ini cenderung lebih mudah (dipengaruhi).”
Menghadapi tantangan ini, Ulum menegaskan bahwa perlunya pemerintah responsif terhadap potensi resiko ini. Pengembangan kecerdasan imitasi dalam hal penguatan ideologi bangsa menjadi penting untuk membangun imunitas ideologi dalam menyongsong Indonesia Emas di tahun 2045.
“Ketahanan siber tidak hanya tentang bagaimana how to detect, mendeteksi, tetapi juga bagaimana mencegah,” tandasnya.