Selasa 26 Sep 2023 15:54 WIB

Jelang Pemilu, Pemerintah Diminta Perbanyak Edukasi Penggunaan Medsos di Masyarakat

Media sosial ibarat dua mata pisau yang memiliki manfaat dan mudarat.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Media Sosial (ilustrasi)
Foto: VOA
Media Sosial (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilu 2024 sudah dekat dan media sosial menjadi salah satu sarana kampanye caleg maupun capres. Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta berharap, lebih banyak edukasi diberikan soal penggunaan media sosial.

Ia mengatakan, media sosial memang bisa secara efektif dalam mengarahkan calon pemilih dengan teknologi AI dalam algoritma aplikasi. Tapi, medsos terbukti memperkuat pembelahan, jadi sarana penyebar hoaks di 2019 lalu.

Maka itu, Sukamta meminta pemerintah memperbanyak dan memperluas edukasi penggunaan media sosial menjelang pemilu berlangsung. Ia mengingatkan, media sosial ibarat dua mata pisau yang memiliki manfaat dan mudarat.

"Jika tidak dipergunakan dengan baik dan benar, pisau itu akan menusuk pengguna dan orang lain. Pisau tajam media sosial bisa memecah belah masyarakat dengan pembentukan kecenderungan lewat perangkat algoritma," kata Sukamta, Selasa (26/9).

Ia menerangkan, model algoritma seperti TikTok, Instagram, atau Youtube terbilang mirip. Tayangan video muncul merupakan rekomendasi berdasarkan konten video yang disukai, memiliki kemiripan, maupun tagar yang sama.

Konten yang mirip ini akan mempengaruhi pikiran, bahkan perilaku dari pengguna. Ia berpendapat, personifikasi ini terbukti memperkuat pembelahan masyarakat dalam pemilu, membuat berita hoaks mudah menyebar.

Sukamta menekankan, konten media sosial berbeda dengan konten berita yang memiliki prinsip cover both side dalam jurnalistik. Jadi, memberi informasi dengan melibatkan dua sudut pandang berbeda atau berlawanan.

"Pemerintah, dalam hal ini Kominfo harus lebih banyak dalam mengedukasi masyarakat dan platform media sosial untuk mencegah berita hoaks, penghasutan, dan kampanye hitam dalam Pemilu 2024," ujar Sukamta.

Meski begitu, ia menegaskan, harus tetap menjaga kebebasan berekspresi berdasarkan hukum dan undang-undang. Pemerintah berkewajiban melakukan edukasi dan pemantauan terhadap konten yang dilarang dan berbahaya. "Tapi sensor tidak boleh diberikan kepada swasta atau pemilik platform," katanya.

Politisi PKS ini menambahkan, medsos seperti TikTok tempatkan Indonesia kedua dunia dengan 109,90 juta pengguna di bawah AS 113,25 juta. Menurut Sukamta, besarnya pengguna ini harus jadi perhatian serius pemerintah.

"Edukasi harus diperkuat dan semakin digencarkan oleh pemerintah, khususnya Kominfo. Edukasi yang masif akan berkorelasi positif menurunkan jumlah hoaks yang beredar selama Pemilu 2024," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement