REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik tak berkesudahan antara Palestina dan Israel kembali pecah dan memunculkan pro dan kontra dari berbagai negara di muka bumi. Dengan semakin banyaknya letusan senjata dan darah yang ditumpahkan, tidak hanya menimbulkan banyak korban jiwa dari masyarakat sipil disana, dikhawatirkan pula efek sampingnya juga akan terasa di negara-negara yang memiliki kedekatan khusus dengan Palestina.
Pengajar Kajian Terorisme pada Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Mulawarman Hanase, menjelaskan bahwa konflik Palestina-Israel yang kembali terjadi harus diantisipasi sebagai angin segar bagi kelompok teror yang ingin menunggangi kesempatan ini.
"Para kelompok teror di seluruh dunia itu bisa diibaratkan sebagai rumput yang sebelumnya terkena musim kemarau dan kondisinya menjadi kering. Ketika memanasnya kembali perang Palestina-Israel ini, seakan-akan mereka adalah rumput kering yang tiba-tiba saja mendapatkan air yang banyak," jelas Mulawarman di Jakarta, dalam siaran pers, Sabtu (21/10/2023).
Menurut akademisi yang pernah melakukan penelitiannya di Gaza ini, Israel sudah melancarkan serangan melalui jalur darat mulai dari beberapa hari yang lalu, sebagai aksi balasan terhadap penyerbuan yang Hamas lakukan. Banyak dari alutsista Israel yang sudah memasuki wilayah perbatasan di sekitar jalur Gaza. Bentrokan yang terjadi sekarang sebenarnya adalah buah dari rentetan peristiwa yang sebelumnya terjadi dan memicu kemarahan dari kedua belah pihak.
"Kalau kita lihat ke belakang, setidaknya lima tahun terakhir, banyak sekali peristiwa-peristiwa penting yang bisa menjadi latar belakang konflik saat ini. Beberapa faktor pemicu peperangan ini sebenarnya merupakan excess (dampak berlebih) dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, lalu meletuslah peperangan secara besar-besaran,” kata Mulawarman.
Dirinya menyebutkan bahwa peristiwa kali ini merupakan bentrokan Hamas dan invasi Israel ke Gaza terbesar dalam 20 tahun terakhir. Hal ini bisa dilihat apabila dampak peperangan ini dibandingkan dengan beberapa peperangan sebelumnya.
Pada beberapa tahun ke belakang, tepatnya pada tahun 2017, ada agenda Amerika Serikat yang disampaikan oleh Presiden Donald Trump, bahwa mereka (AS) mendorong solusi pendirian dua negara (two-state solution). Jadi antara Palestina dan Israel sama-sama memiliki wilayah dan negara yang sah. Ini yang ditentang oleh Palestina dan banyak negara, khususnya negara-negara Arab dan Indonesia.
"Solusi dua negara yang digagas oleh Trump ini dianggap jauh dari sikap netral, karena sangat menguntungkan Israel. Salah satu ketentuan dari two-state solution ini adalah pemindahan kota Yerusalem dalam wilayah Israel, yang ditandai dengan pemindahan gedung kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem. Dulu ketika rencana ini disampaikan ke publik, hal ini memicu reaksi perlawanan yang luar biasa, baik melalui kritik maupun aksi-aksi kekerasan yang terjadi di Palestina, khususnya di Jalur Gaza,” ujar Mulawarman.
Faktor lain yang memperparah kondisi internal Politik Palestina antara lain adanya momentum normalisasi negara-negara anggota Liga Arab dengan Israel sekitar tahun 2020 lalu. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko adalah beberapa contoh negara yang melakukan proses normalisasi diplomasi tersebut. Hal ini tentunya juga berpengaruh terhadap konstelasi politik internal di Palestina.
"Dalam paradigma masyarakat Palestina, khususnya di Gaza saat ini, bahwa mereka yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel berarti tidak mendukung Palestina. Walaupun negara-negara Arab ini juga memiliki pandangan yang berbeda. Liga Arab sendiri seolah juga memiliki pergeseran paradigma bahwa menjalin hubungan diplomasi dengan Israel, bukan berarti tidak mendukung Palestina," kata Mulawarman.
Mulawarman yang juga merupakan Dosen Filsafat Pascasarjana PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Quran) Jakarta ini menjelaskan bahwa ada dua kekuatan besar yang menentukan arah politik dan perjuangan di Palestina, yakni Fattah dan Hamas. Walaupun demikian, Palestina sendiri sebenarnya adalah negara yang menganut sistem multi-partai, sama seperti Indonesia. Mulai dari paham nasionalisme, demokratisme, komunisme, sekularisme, hingga islamisme ada perwakilan partainya di Palestina.
"Hamas merupakan perwakilan mayoritas suara di Palestina, namun ia bukanlah representatif otoritas pemerintahan Palestina. Walaupun memegang mayoritas suara, Hamas tetap menjadi oposisi. Mengapa demikian? Karena pada tahun 2007, terjadi perang internal di Palestina antara Fattah dan Hamas. Ketika Hamas menang dalam pemilu, Fattah tidak menerima itu, Karena bagi Fattah, Hamas itu tidak mungkin bisa merepresentasikan proses perdamaian Palestina. Fattah mengambil sikap bahwa proses perdamaian yang dicapai melalui peperangan, seperti yang Hamas lakukan, sudah tidak efektif lagi untuk mencari solusi perdamaian," katanya.
"Makanya Presiden Palestina itu sampai saat ini adalah Mahmoud Abbas yang berasal faksi Fattah. Ia menjalankan pemerintahannya di Ramallah, Tepi Barat (West Bank), tetapi Hamas juga memiliki pemerintahannya sendiri di Gaza," jelas Mulawarman.
Menutup pembahasan konflik Israel dan Palestina, Mulawarman menerangkan pula bahwa ada urgensi dunia internasional, termasuk Indonesia, untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan perang berkepanjangan ini. Hal yang dikhawatirkan banyak negara adalah dampak konflik yang sangat mungkin meluas dan ditunggangi oleh banyak kepentingan, terlebih lagi oleh kelompok teror.
"Jangan sampai perang Palestina-Israel malah menjadi pekerjaan besar bagi Indonesia dan negara-negara di Timur Tengah untuk meredam munculnya aksi-aksi kekerasan lainnya. Mungkin pada awalnya adalah dalam konteks Palestina-Israel, tapi kemudian beralih pada konteks lain seperti menyemangati warga sipil untuk ikut melakukan aksi-aksi teror, baik di wilayah Timur Tengah maupun di Indonesia," kata Mulawarman.