REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Sebanyak tiga pasangan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden sudah mendeklarasikan diri untuk mengikuti kontestasi politik Pemilu 2024. Meskipun suasana politik nasional semakin menghangat, dua pengamat UGM beranggapan potensi konflik horizontal maupun vertikal pada perhelatan kali ini relatif rendah.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim, mengatakan salah satu alasan potensi konflik Pemilu 2024 relatif rendah adalah komposisi pasangan calon yang cukup beragam. Dengan komposisi beragam seperti itu ia yakin para pendukung masing-masing paslon tidak akan terlibat pada konflik horizontal.
"Dengan calon yang gado-gado kayak gitu sepertinya para pendukung (masing-masing paslon-Red) tidak akan berantem. Kalau ada konflik maka hal itu tak akan sebesar pada Pemilu 2019," kata Abdul Gaffar, dalam kegiatan Pojok Bulaksumur di Gedung Pusat UGM, Jumat (27/10/2023).
Abdul Gaffar juga tidak yakin konflik vertikal antara rakyat dengan negara akan terjadi meskipun terdapat isu yang sedemikian krusial seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terlihat menguntungkan salah satu kandidat cawapres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yakni Gibran Rakabuming Raka.
"Dalam 10 tahun terakhir ini negara sangat terkonsolidasi sementara masyarakat tidak lagi terkonsolidasi. Kalaupun ada konflik maka hal itu hanya berbentuk scrimmage atau letupan-letupan yang sangat kecil dan bisa cepat dilakukan rekonsiliasi," kata Abdul Gaffar.
Meskipun demikian, Abdul Gaffar mengingatkan masyarakat tetap harus waspada akan potensi konflik. Apalagi jika nanti pemilihan presiden berlangsung dua putaran. "Kalau dua putaran akan terjadi konstelasi yang berbeda,” katanya menambahkan.
Dosen Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM, Riza Noer Arfani, sepakat dengan pendapat Abdul Gaffar bahwa pemilu kali ini bakal minim konflik. Salah satunya, kata dia, disebabkan pengaruh para ketua umum partai politik yang tidak terlalu dominan pada perhelatan kali ini.
"Kemungkinan polarisasi yang ekstrem hampir tidak ada. Apalagi pada pemilu legislatif. Untuk pilpres, pengaruh ketua partai relatif tidak dominan sehingga tidak menghasilkan konflik di level grassroot," kata Riza.
Terkait potensi konflik vertikal, Riza juga tidak yakin bakal terjadi. Apalagi terdapat anggapan di tengah masyarakat bahwa pemilu adalah sebuah pesta demokrasi sehingga perhelatan tersebut akan disambut sebagai sebuah selebrasi yang meriah.
"Saya kira konflik vertikal akan sangat ditentukan oleh pilihan para konstituen. Kemana bandul politik akan mengarah? Perubahan atau tidak perubahan? Seandainya bandul mengarah ke perubahan maka potensi konflik vertikal akan kecil," ujar peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM tersebut.
Potensi konflik yang lebih kecil, menurut Riza, juga mencakup ranah media digital. Berbeda dengan sebelumnya, euforia masyarakat terhadap digitalisasi menurutnya sudah cukup stabil. Seiring dengan semakin meningkatnya literasi terhadap teknologi dan media digital, masyarakat menurutnya sudah lebih bisa memilah informasi yang mereka peroleh melalui media. “"Orang sudah tidak benar-benar percaya dan mengandalkan media sosial, sehingga potensinya lebih kecil," kata Riza.