Jumat 05 Sep 2025 07:33 WIB

UGM Soroti Hak Bersuara dan Stabilitas Bangsa pada Pojok Bulaksumur

Para narasumber menekankan perlunya langkah nyata dari pemerintah.

Rep: Dian Astri Nataliya/Zahra Ocha Nayla/ Red: Fernan Rahadi
Para narasumber dan peserta diskusi Pojok Bulaksumur berfoto bersama usai diskusi bertajuk Antara Hak Bersuara dan Stabilitas Bangsa: Menelaah Demonstrasi Indonesia Terkini di Gedung Pusat UGM, Kamis (4/9/2025).
Foto: Zahra Ocha Nayla
Para narasumber dan peserta diskusi Pojok Bulaksumur berfoto bersama usai diskusi bertajuk Antara Hak Bersuara dan Stabilitas Bangsa: Menelaah Demonstrasi Indonesia Terkini di Gedung Pusat UGM, Kamis (4/9/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menggelar diskusi Pojok Bulaksumur edisi September 2025 dengan tema 'Antara Hak Bersuara dan Stabilitas Bangsa: Menelaah Demonstrasi Indonesia Terkini' di Gedung Pusat UGM, Kamis (4/9/2025). Diskusi santai antara pimpinan universitas dan rekan media ini dikemas dengan konsep ‘ngangkring’ serta menghadirkan tiga narasumber dari berbagai disiplin ilmu.

Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, menjelaskan bahwa demonstrasi belakangan ini merupakan akumulasi kritik publik terhadap sistem, kebijakan, hingga aparat negara. Ia melihat adanya pergeseran pola, di mana aksi massa kini lebih banyak dipengaruhi oleh para influencer terdidik di media sosial, bukan lagi sepenuhnya digerakkan oleh aktivis sebagaimana di era sebelumnya.

"Kemarahan publik adalah akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan negara yang regresif dan paradoks, sementara masyarakat berjuang bertahan hidup, pejabat justru menikmati fasilitas," ujarnya.

Dari perspektif psikologi, Prof Faturochman menilai gelombang protes saat ini merupakan ekspresi lumrah yang muncul dari tekanan sosial yang sudah lama menumpuk.

“Ini bukan lagi soal FOMO (fear of missing out-Red), tapi memang masyarakat sudah pengap. Demonstrasi justru sudah seharusnya terjadi, bahkan bisa lebih besar,” jelasnya.

Pakar keamanan dan perdamaian UGM, Achmad Munjid menambahkan bahwa demonstrasi lahir dari kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat serta tindakan aparat yang represif. Menurutnya, praktik penangkapan hingga kekerasan justru memicu kerusuhan yang lebih parah.

"Kalau dulu masih ada koordinasi gerakan, sekarang siapa pun yang tersulut emosi bisa memicu kericuhan," katanya.

Para narasumber dalam diskusi ini juga menekankan perlunya langkah nyata dari pemerintah. Beberapa di antaranya adalah pengesahan RUU Perampasan Aset, reformasi kepolisian, serta pembenahan sistem kepartaian agar aspirasi publik dapat tersalurkan secara bermartabat tanpa mengorbankan stabilitas bangsa.

Di sisi lain, Prof Faturochman menyoroti bahwa dinamika demonstrasi yang marak belakangan ini tidak terlepas dari peran kepemimpinan nasional. Ia menilai, pemimpin ideal bukan hanya mampu merespons tekanan sosial, tetapi juga memiliki kapasitas nyata yang teruji lewat pengalaman dan rekam jejak.

"Menjadi pemimpin itu harus punya kompetensi, yang ditunjukkan harus real atau nyata. Dia sudah harus punya pengalaman di beberapa level dan punya rekam jejak prestasi yang jelas,” ucap Prof Faturochman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement