Rabu 08 Nov 2023 14:57 WIB

Pakar Hukum Tata Negara: Putusan MKMK Teguran Keras Moralitas Hakim MK

Tuntutan sebagian masyarakat untuk Anwar Usman adalah pemberhentian sebagai hakim MK.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Fernan Rahadi
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie usai memimpin sidang pembacaan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (7/11/2023). Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman terbukti melaukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim Konstitusi. MKMK juga menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan ketua MK.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie usai memimpin sidang pembacaan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (7/11/2023). Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman terbukti melaukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim Konstitusi. MKMK juga menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan ketua MK.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Menanggapi hasil putusan dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Iwan Satriawan mengatakan hasil putusan merupakan teguran keras bagi moralitas dan etika seorang hakim MK. 

Menurutnya, MK yang merupakan lembaga istimewa yang tidak memiliki pengawasan sudah seharusnya diisi oleh hakim yang tinggi secara tingkat moralitas dan etika, sehingga dapat diterapkan dalam praktik bernegara.

Baca Juga

"Hasil putusan ini sebenarnya sudah menjadi palu yang merobohkan moralitas dan etika Anwar Usman sebagai Ketua MK. Saya mengapresiasi hasil putusan dari MKMK yang sudah menjawab harapan sebagian masyarakat," ujar Iwan Satriawan pada Rabu (8/11/2023).

Kendati begitu, putusan ini tidak seperti yang kita harapkan 100 persen, lanjut Iwan, karena tuntutan sebagian masyarakat untuk Anwar Usman yang telah melakukan pelanggaran berat adalah pemberhentian sebagai hakim MK, tidak hanya sebagai Ketua MK.

Ia juga menyampaikan bahwa dengan segala kewenangan yang dimiliki oleh MK, para hakim MK yang menyandang gelar 'negarawan' harus menjunjung tinggi moralitas dan etika, agar seimbang dengan keistimewaan yang mereka miliki. Ini harapannya juga dapat menjadi teladan bagi masyarakat dengan melihat bahwa pejabat negara dapat mengedepankan moralitas dan etika dalam mengambil keputusan.

Menurutnya, hukum itu tidak pernah sempurna. Seandainya hukum tidak dapat meyelesaikan masalah, masih ada moralitas dan etika yang dapat menjadi solusi permasalahan.  "Sehingga kemampuan beretika dalam bernegara menjadi penting bagi pejabat negara, karena ini sekaligus mempertaruhkan standar moral mereka," kata Iwan.

Iwan berpendapat bahwa kendati sudah memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK, ketiga anggota MKMK tetap tidak dapat mengubah hasil putusan sebelumnya oleh MK terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum (Pemilu), yang tercantum dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023. Karena yang dapat diperiksa oleh MKMK hanya pelanggaran kode etik oleh hakim MK, sedangkan Putusan dari MK bersifat final and binding, yang artinya mengikat. 

"Saya kira diadakannya sidang pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim MK sudah merupakan usaha maksimal yang dapat dilakukan oleh banyak pihak termasuk kelompok masyarakat untuk menegakkan prinsip konstitusi," tuturnya.

Ia menilai, hanya ada sedikit kemungkinan bagi MKMK untuk melakukan terobosan dan mengesampingkan prinsip final and binding tersebut, karena mereka tidak punya wewenang untuk memeriksa, menilai dan menjatuhkan putusan terkait substansi putusan dari MK.

Meskipun demikian, Iwan yang merupakan pakar hukum tata negara memandang adanya satu poin yang menarik dari keseluruhan hasil putusan MKMK, di mana Anwar Usman yang masih berstatus hakim MK dilarang oleh MKMK untuk terlibat dalam pemeriksaan dan pengadilan sengketa yang terkait dengan Pemilu, termasuk Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif. 

Hal ini, menurut Iwan dapat mereduksi adanya benturan kepentingan dari Anwar Usman, mengingat ia juga merupakan paman dari salah satu calon wakil presiden yaitu Gibran Rakabuming Raka. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement