Kamis 16 Nov 2023 18:20 WIB

Hukuman Napiter Dinilai tak Bisa Disamakan dengan Narapidana Lain

Pendekatan berbasis kemanusiaan penting untuk membuat napiter merasa diperhatikan.

Napiter di Lapas Pasir Putih Nusakambangan ikrar setia NKRI (ilustrasi)
Foto: BNPT
Napiter di Lapas Pasir Putih Nusakambangan ikrar setia NKRI (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, CILACAP – Hukuman bagi napiter dinilai tidak bisa disamakan dengan pelaku pidana lain seperti pembunuhan, narkotika, dan semacamnya yang menggunakan masa lama tahanan. Meskipun sudah dikenakan 25 tahun masa hukuman, tapi jika napiter tersebut keluar dalam keadaan masih merah hal tersebut akan tetap berbahaya di tengah masyarakat.

"Mazhab hukuman harus dirubah. Hukum teroris itu harusnya bukan hitungan tahun, tapi kapan cara berpikirnya berubah. Jika enam bulan sudah berubah, maka ia bisa dibebaskan," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) Komjen Pol Prof Mohammed Rycko Amelza Dahniel saat mengadakan kunjungan kerja di Pulau Nusakambangan pada Sabtu (11/11/2023). 

Jenderal bintang tiga tersebut juga menyinggung soal tantangan program deradikalisasi yang tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 bahwa program deradikalisasi sifatnya adalah sukarela. Karena perlu adanya tindakan efektif agar tantangan ini bisa dijawab dengan baik. Ia lalu mengusulkan tentang perlunya meninjau kisah para napiter yang sukses dideradikalisasi sebelumnya.

"Kita belajar dari success story mereka yang sudah berhasil (hijau), di mana mereka tersentuh sehingga bisa dipertimbangkan untuk dilakukan juga (pada yang lain). Success story itu dipelajari, dievaluasi, sembari tetap membuka pintu terhadap potensi apa saja yang bisa membuka hati para napiter," tutur Rycko.

"Kita harus sukseskan program deradikalisasi agar semua orang bisa seperti Umar Patek, untuk melakukan sosialiasi kepada yang belum berubah," lanjutnya.

Ia menegaskan bahwa bangsa Indonesia dibangun atas dasar perbedaan, maka paham yang tidak bisa menerima perbedaan bisa sangat mengancam keutuhan bangsa. Status rekrutmen ini menurutnya juga perlu dipahami karena sejatinya simpatisan dan pelaku bom adalah korban dari ideolog.

Senada dengan Kepala BNPT RI, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham RI Irjen Pol Reynhard Saut Poltak Silitonga,meneguhkan bahwa petugas lapas tidak lagi menghukum tapi membina supaya napi kalau keluar dia tidak mengulangi lagi perbuatannya."Para napi dilatih kepribadian dengan kajian keagamaan, dan kemandirian dengan berbagai pelatihan," kata Reynhard.

Sementara Direktur Deradikalisasi BNPT RI Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid, mengungkapkan bahwa pendekatan berbasis kemanusiaan penting untuk membuat napiter merasa diperhatikan. Karean itu, dalam proses deradikalisasi perlu membangun kepercayaan antara petugas lapas dan napiter.

"Trust building dengan pendekatan kemanusiaan perlu dilakukan. Karena itu kita punya rumah singgah untuk keluarga napiter, ada pelayanan pemeriksaan gigi, konseling, supaya mereka terbuka untuk komunikasi. Karena mereka benci pada petugas, maka perlu pendekatan kemanusiaan,” katanya menambahkan.

Ia menyebutkan, dari 118 napiter yang masuk dalam program deradikalisasi, tingkat keberhasilannya adalah dua pertiga dari seratus persen. 35 persen berakhir ikrar NKRI, 27 persen berubah namun belum ikrar, sedangkan 38 persen belum berubah sama sekali.

Nurwakhid juga mengingatkan soal perjanjian kerja sama antara BNPT RI dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang dimulai pada tahun 2019 berakhir secara resmi pada Mei 2023.

Kendala sinergitas ini juga menjadi catatan Kalapas Kelas I Batu Nusakambangan Mardi Santoso. Ia menyinggung soal absennya tenaga psikologi dan program perencanaan pembinaan kepribadian berdasarkan tingkat pemahaman radikalisme. "Salah satu kendalanya adalah keluarga dan masyarakat belum bisa menerima napiter yang mendapat program integrasi," tutur Kalapas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement