REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia adalah negara yang menjamin kebebasan pada rakyatnya dalam menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya. Sikap negara ini tentu menjadi tolok ukur bagi siapapun yang berada di bawah naungan NKRI untuk memiliki posisi yang sama dalam melindungi keberagaman. Keberlangsungan perayaan skala nasional seperti Natal dan Tahun Baru sebenarnya menjadi ajang pembuktian masyarakat Indonesia dalam menjaga sesama anak bangsa.
Wakil Sekjen Pengurus Besar Darud Dakwah Wal Irsyad (PB-DDI) Dr Suaib Tahir menjelaskan bahwa momentum perayaan nasional atau keagamaan seperti Natal dan Tahun Baru sayangnya seringkali dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi intoleransi, bahkan mengarah pada aksi terorisme. Kelompok teroris menganggap bahwa perayaan Natal dan Tahun Baru bertentangan dengan ajaran agama sehingga mereka merasa perlu untuk melakukan aksi teror demi menghentikannya.
"Kelompok yang terafiliasi dalam jaringan teror menganggap bahwa perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) adalah momentum yang paling baik untuk melakukan aksi. Nataru dianggap sebagai waktu yang banyak orang sedang euforia, dan intensitas penyelenggaraan kegiatan itu cukup tinggi," kata Dr Suaib, Sabtu (16/12/2023).
"Beberapa lokasi seperti rumah ibadah dan pusat perbelanjaan yang menjadi titik keramaian seakan seperti sasaran empuk bagi kelompok teror untuk melancarkan aksinya. Maka dari itu kita perlu melakukan deteksi dini demi menjaga sesama anak bangsa," katanya.
Sebagai warga negara yang menjunjung tinggi prinsip Bhinneka Tunggal Ika, kata Suaib, sudah sewajarnya rakyat Indonesia untuk saling melindungi sesamanya. Karena musibah yang menimpa suatu kelompok masyarakat, walaupun memiliki keyakinan yang berbeda, sesungguhnya harus menjadi perhatian bagi kelompok masyarakat lainnya. Musibah itu sejatinya adalah common sense, semua orang bisa merasakan kesedihan dan kepedihannya terlepas siapapun yang menghadapinya, karena itu sifat yang manusiawi.
Jika ada kemalangan yang menimpa sesama anak bangsa yang sedang menyelenggarakan Natal dan Tahun Baru, tentu masyarakat Indonesia secara keseluruhan patut prihatin atas musibah yang ada. Jangan sampai hanya karena perbedaan agama atau keyakinan, suatu kelompok masyarakat memilih untuk tidak peduli terhadap kelompok lainnya, apalagi hingga mengeluarkan pernyataan yang menyakitkan dan dapat memecah belah kerukunan antar umat beragama.
"Segala musibah yang menimpa saudara kita, walaupun berbeda keyakinan, sebenarnya juga merupakan kesedihan bagi kita sendiri. Kita harus bisa melihat suatu tragedi dari perspektif kemanusiaan, karena itu kita semua harus saling waspada dan menjaga sesamanya," ujarnya.
Jika ada fenomena-fenomena yang mengindikasikan adanya persiapan atau aksi yang mengarah pada tindakan teror di sekitar kita, tentu kita harus laporkan kepada penegak hukum. Antisipasi dini juga bisa dilakukan dengan menghubungi Ketua RT atau tokoh masyarakat setempat," kata Alumni Al Azhar ini.
Ia mengungkapkan, terkadang seseorang bergabung tidak hanya satu, namun di beberapa komunitas pada saat yang sama seseorang ini bisa saja memiliki pemahaman agama yang moderat, namun belum tentu hal yang sama dikatakan pada orang-orang lain yang tergabung di komunitas yang sama.
Apalagi, terang Suaib, di era media sosial seperti saat ini yang dengan mudahnya masyarakat Indonesia bergabung pada grup tertentu, padahal di dalamnya terdapat banyak sekali informasi yang perlu dipertanyakan validitas sumber datanya. Menjadi suatu urgensi bagi semua pihak untuk saling mengingatkan rekan dan koleganya agar terhindar dari narasi yang menyesatkan.
Ia melanjutkan bahwa walaupun tiap pergantian tahun seringkali muncul propaganda kaum radikal yang menjurus pada aksi teror, diapresiasi bahwa tetap ada kelompok yang moderat dan bahkan secara sukarela menjaga rumah ibadah dari kaum yang berbeda keyakinan dengannya. Sikap toleransi yang semacam ini tentu diharapkan timbul secara sadar dan mandiri agar kerukunan beragama tidak terancam oleh praktik intoleransi.
"Misalnya saja umat Islam di Indonesia yang sangat beragam dalam menafsirkan ajaran agamanya. Ada kelompok yang keras, ada yang lembut, hingga ada yang tinggi solidaritasnya sampai menawarkan diri untuk menjaga rumah ibadah umat Kristiani. Maka dari itu, jangan sampai perbuatan intoleran dari kelompok Islam garis keras merusak citra positif yang telah susah payah dibangun oleh golongan Islam yang moderat," tutur Dr Suaib.
Ia menganggap bahwa apa yang telah dilakukan oleh kelompok Islam moderat harus diapresiasi dan terus ditingkatkan intensitasnya. Bukan saja kepada umat Kristiani di momentum Natal dan Tahun Baru, namun aksi solidaritas juga perlu dilakukan terhadap umat beragama lain di perayaan keagamaannya.
"Kita harus tingkatkan penjagaan dan pengawasan terhadap sesama umat beragama dan agar timbul trust atau kepercayaan di antara kita. Rasa saling percaya ini akan membantu kita membangun kerukunan yang kuat, dan tidak mudah melakukan generalisasi atau memberikan label negatif terhadap agama tertentu hanya karena ada sebagian oknum yang berbuat intoleran,” ujar Dr Suaib.