Senin 29 Jan 2024 07:28 WIB

‘Deradikalisasi Jalan Kembali Eks Napiter Kembali Terima Pancasila dan Demokrasi’

Hakikatnya program deradikalisasi meliputi identifikasi, pembinaan, dan evaluasi.

Ilustrasi Abu Bakar Baasyir
Foto: Republika
Ilustrasi Abu Bakar Baasyir

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Program deradikalisasi adalah proses yang terencana, terintegrasi, terpadu, sistematis dan berkelanjutan untuk menghilangkan atau mengurangi radikalisme yang terjadi sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018, kemudian diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019.

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen (Pol) R Ahmad Nurwakhid, mengatakan bahwa dengan program deradikalisasi diharapkan dapat membawa para napiter dan eks napiter untuk bisa menerima Pancasila dan demokrasi. Dengan begitu para eks napiter bisa terlibat aktif dalam proses pemilu untuk menyukseskan pemilu damai.

"Seperti kita tahu, Abu Bakar Ba’asyir adalah mantan napiter, yang beberapa waktu lalu mengatakan akan mengikuti proses demokrasi yaitu pemilu. Itu artinya ia sudah tidak lagi mengkafirkan atau mengharamkan demokrasi. Minimal ia sudah berkurang kadar radikalismenya, ya kita hormati," ujar Nurwakhid di kantor BNPT Sentul, Bogor, Jumat (26/1/2024).

Lebih lanjut, Nurwakhid berharap agar mantan-mantan napiter yang masih belum sadar agar bisa mengikuti dan menerima sistem demokrasi dan Pancasila. Karena Pancasila dan demokrasi adalah kesepakatan bersama yang sudah diatur dalam konstitusi negara.

"Yang belum sadar tentu mereka akan golput, mengharamkan demokrasi, mengharamkan pemilu dan itu adalah pekerjaan kami (BNPT) untuk melakukan pembinaan supaya mereka moderat. Karena kalau dia mengharamkan demokrasi atau pemilu maka sudah pasti dia berpaham radikal, berpaham takfiri,” tutur mantan Kasatgaswil Densus 88 DIY itu. 

Dirinya menyebut bahwa pada hakikatnya program deradikalisasi yang dilaksanakan oleh BNPT selama ini meliputi mulai dari identifikasi, pembinaan, dan evaluasi.

"Identifikasi itu mulai dari pemetaan, identifikasi korban ideologi radikal, kemudian profiling, termasuk assesment untuk kita mengetahui tingkat radikalisme seseorang. Kemudian dilanjutkan dengan pembinaan," ungkapnya.

Ia mengatakan bahwa pembinaan dalam program deradikalisasi itu substansinya ada tiga, yaitu rehabilitasi, baik itu rehabilitasi secara ideologi, dengan diberikan wawasan kebangsaan dan keagamaan. Kemudian re-edukasi dan reintegrasi sosial, termasuk memberikan pelatihan kewirausahaan agar para napiter maupun eks napiter bisa mandiri secara ekonomi dan tidak kembali kepada jaringannya yang lama.

"Dengan program deradikalisasi ini diharapkan mereka bisa menjadi moderat, dimana moderat ini ada 4 indikatornya sesuai dengan komitmen kebangsaan yaitu bisa menerima Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 sebagai konsensus nasional," tuturnya.

Dengan menerima konsensus nasional, Nurwakhid menyebut bahwa mereka sudah bisa disebut inklusif, tidak eksklusif, karena inklusif itu intoleran terhadap keberagaman. Dengan inklusif, berarti mereka sudah akomodatif terhadap budaya maupun kearifan lokal dan sudah anti terhadap kekerasan.

"Jika para napiter ini sudah moderat, artinya pembinaannya sudah berhasil, maka dia akan ikut dan mengakui demokrasi itu. Tapi kalau mereka belum moderat, masih memiliki paham takfiri, yang mana takfiri ini adalah paham yang mengkafirkan orang lain yang berbeda, mengkafirkan negara, termasuk mengkafirkan sistem demokrasi. Maka kalau mereka masih takfiri, masih radikal, mereka tidak akan mengikuti sistem demokrasi, mereka akan golput. Karena kan selama saat masih radikal mereka tidak mengakui sistem demokrasi dan pancasila," papar Nurwakhid. 

Jelang Pemilu 2024 ini, lanjutnya, BNPT berperan aktif dalam menyukseskan pemilu damai dengan mengimbau agar para warga binaannya dan mitra deradikalisasi mengakui dan menghormati demokrasi dan juga mengikuti pemilu. Juga kepada seluruh anak bangsa untuk menggunakan haknya memilih pemimpin dengan baik.

"Tentu kita semua berharap agar Pemilu baik itu Pileg maupun Pilpres tahun 2024 ini berjalan dengan aman, damai kemudian saling menghormati. Perbedaan itu suatu hak, tapi yang tidak boleh adalah memecah belah, saling membangun kebencian atau fitnah atau bahkan saling menebar hoax atau fitnah," ungkapnya.

Jenderal Polisi bintang satu itu mengatakan bahwa silahkan pilihan berbeda, yang penting rukun bersatu bahwa demokrasi adalah sistem yang disepakati bersama di dalam rangka memilih pemimpin atau wakil rakyat.

"Semua diserahkan keapda masyarakat untuk memilih sesuai dengan pilihan ataupun hati nuraninya masing-masing. Tapi jangan mau dipecah belah ataupun bertengkar, harus rukun, harus damai. Makanya ini disebut pesta demokrasi, maka harus bahagia, dan kebahagiaan itu bisa terwujud kalau kita damai, rukun, menghormati pilihan yang berbeda," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement