Jumat 24 Oct 2025 10:27 WIB

Pakar Kebijakan Publik: MBG Perlu Diperkuat Edukasi, Transparansi, dan Kualitas Gizi di Garis Depan

Trubus menyoroti belum optimalnya peran Pemda dalam pengawasan dan penguatan SPPG.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah.
Foto: Antara/Luthfia Miranda Putri
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar kebijakan publik Dr Trubus Rahardiansah, menilai Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto merupakan langkah strategis dalam membangun sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Program ini, menurutnya, bukan sekadar kebijakan populis, tetapi wujud nyata keberpihakan negara kepada rakyat kecil setelah delapan dekade Indonesia merdeka.

“Selama 80 tahun merdeka, perhatian terhadap rakyat miskin baru benar-benar diwujudkan oleh Pak Prabowo melalui program Makan Bergizi Gratis. Program ini memanusiakan dan memberi kesempatan yang sama bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah,” ujar Trubus di Jakarta, Kamis (23/10/2025).

Ia menilai, konsep MBG yang digagas pemerintah Indonesia sejajar dengan kebijakan serupa di sejumlah negara maju seperti Brasil, Jepang, Korea Selatan, dan Finlandia. Bahkan, salah satu agenda Presiden Brasil mengunjungi Indonesia meninjau langsung dapur MBG sebagai bentuk studi banding kebijakan pangan nasional.

Meski berdampak besar, Trubus mengingatkan bahwa pelaksanaan MBG di lapangan masih memerlukan banyak penyempurnaan, terutama dari sisi edukasi dan perencanaan teknis. Menurutnya, Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga pelaksana masih relatif baru, sehingga masyarakat belum sepenuhnya memahami struktur organisasi dan pembagian tanggung jawab antarinstansi.

“Program ini langsung dieksekusi tanpa sosialisasi yang cukup, padahal edukasi publik penting untuk membangun kepercayaan,” tuturnya.

Trubus menyoroti pula belum optimalnya peran Pemerintah Daerah (Pemda) dalam pengawasan dan penguatan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Padahal, menurutnya, Pemda paling memahami kondisi daerah, termasuk tantangan geografis, logistik, dan sosial ekonomi masyarakat.

“Pemda harus terlibat membantu pengawasan SPPG mulai dari pengemasan, distribusi, dan peningkatan kapasitas dapur. Karena beda daerah, beda persoalan,” tegasnya.

Menurut Trubus, salah satu tantangan utama MBG adalah menjaga kualitas makanan agar tidak terjadi kasus insiden keamanan pangan akibat kesalahan penyimpanan atau proses memasak. “Banyak insiden keamanan pangan muncul karena minim edukasi kepada juru masak dan lemahnya sistem distribusi. Ada dapur yang mulai masak jam tujuh malam, tapi baru dibagikan ke sekolah pagi hari. Jarak waktu yang panjang itu bisa menyebabkan makanan basi,” jelasnya.

Menurut Trubus, setiap dapur SPPG harus memiliki ahli gizi yang berperan aktif memastikan makanan sesuai standar gizi dan higienitas. Ia juga menekankan pentingnya pelatihan intensif bagi para juru masak serta penerapan batas produksi maksimal 2.000 porsi per dapur agar mutu makanan terjaga.

Ia mendukung langkah pemerintah yang mulai menutup dapur bermasalah dan memberi sanksi pada penyelenggara yang tidak memenuhi standar. “Langkah ini penting agar ada efek jera dan tercipta tata kelola yang bersih serta transparan,” katanya.

Trubus menegaskan, partisipasi publik menjadi kunci keberhasilan MBG. Ia mengusulkan agar guru dan komite sekolah turut mencicipi makanan setiap hari, bukan hanya sebulan sekali. “Kalau kepala sekolah dan guru ikut mencicipi, pengawasan jadi lebih nyata. Jangan sampai anak-anak jadi korban makanan tidak layak,” ujar dosen Sosiologi Hukum dan Pengantar Ilmu Politik Universitas Trisakti ini.

Selain itu, ia juga mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam proses produksi dan distribusi makanan. “Partisipasi publik bisa membangun kepercayaan. Ajak masyarakat ikut mengemas makanan, ikut melihat dapur. Itu membangun rasa memiliki,” tuturnya.

Trubus menyambut baik rencana pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) baru yang mengatur tata kelola MBG, termasuk soal batas produksi, mekanisme pengawasan, dan tanggung jawab hukum jika terjadi insiden.

Ia juga menekankan pentingnya sertifikasi KHLS (Kelayakan Higienis, Legal, dan Standar) serta sertifikasi halal yang harus dipermudah dan disubsidi oleh pemerintah.

“Banyak dapur di daerah belum bisa sertifikasi karena biaya tinggi. Ini harus menjadi perhatian BPJPH dan pemerintah pusat,” katanya.

Menurut Trubus, ke depan MBG tidak hanya menyasar anak sekolah, tetapi juga ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia. Saat ini program baru menjangkau sekitar 50 juta penerima manfaat dari total 82 juta target nasional.

Selain itu, kata Trubus, digitalisasi harus segera diterapkan dalam tata kelola MBG. Itu penting untuk mempercepat distribusi, memantau kualitas makanan, serta mencegah risiko seperti keterlambatan dan insiden keamanan pangan.

“Dengan sistem berbasis data, setiap tahapan dari dapur, distribusi, hingga konsumsi — dapat diawasi secara real time," ungkapnya.

Trubus menutup dengan optimisme bahwa Program MBG adalah investasi besar masa depan bangsa. “Kalau anak-anak kita tumbuh dengan gizi baik, mereka akan menjadi generasi yang sehat, cerdas, dan produktif. Itulah modal menuju Indonesia Emas 2045," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement