REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Communication Awards 2024 sukses menyelenggarakan Meet and Discuss bertajuk "Berkelas Hanya Sekilas, Fast Fashion Merusak Dengan Jelas" di Grand Zuri Hotel Malioboro, Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Meet and Discuss merupakan salah satu rangkaian acara dari Communication Awards.
Pada kesempatan ini, forum diberikan ruang untuk berdiskusi mengenai campaign atau isu yang sedang diangkat. Kegiatan ini diikuti oleh berbagai stakeholder dengan harapan hasil diskusi dapat menjadi acuan dan misi bersama guna mengurangi dampak dari poin permasalahan yang diangkat yaitu fast fashion.
Dalam diskusi yang berlangsung, kegiatan Meet and Discuss dibagi menjadi tiga sesi. Para peserta turut memberikan argumen serta opini mengenai topik yang dibahas. Kegiatan Meet and Discuss dihadiri oleh mahasiswa, finalis kompetisi, dewan juri, praktisi, hingga Akademisi dengan tujuan bertukar pikiran dan memberikan insight baru kepada audiens.
Turut hadir pula komunitas-komunitas yang bergerak di bidang sustainable fashion yang mendukung adanya tindakan keberlanjutan bagi industri fesyen. Bertindak sebagai moderator, yakni mahasiswa Hubungan Internasional UMY, Dewa Pratama Tombeng.
Pada sesi pertama, diskusi menyoroti permasalahan bagaimana fast fashion sebagai limbah yang masih diabaikan di Indonesia. Diskusi dimulai dengan melakukan analisis kecil mengenai alasan orang-orang melakukan tindakan fast fashion.
Forum memberikan tanggapan dalam berbagai perspektif mereka mengenai fast fashion itu sendiri. Pada umumnya, memang fenomena fast fashion terkhusus di kalangan anak muda sangat dipengaruhi oleh tren yang berjalan dengan cepat dengan iming-iming harga yang murah.
Sebuah studi kasus yang diungkapkan oleh Maudy, salah satu peserta forum menjelaskan sebuah e-commerce di malaysia bernama Shine yang menjual pakaian dengan harga murah. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap minat para konsumen potensial yang banyak.
Pada kasus lain misalnya, orang-orang yang tinggal di Eropa memiliki empat musim yang mengharuskannya memiliki pakaian sesuai musim tersebut. "Namun masyarakat kita tertarik membeli pakain serupa karena harga yang murah atau promo," tutur Maudy.
Moderator juga mengarahkan diskusi pada pembahasan bagaimana fenomera thrifting berpengaruh, apakah positif atau justru berdampak negatif pada negara kita. Tanggapan dari forum pun beragam, mulai dari bagaimana budaya berpengaruh hingga pentingnya melakukan pemberdayaan terhadap produk lokal guna mengurangi dampak fast fashion. Sesi diskusi pertama ini ditutup dengan menyepakati komitmen bersama dalam membentuk ekosistem fashion yang berkelanjutan dan upaya mendukung industri lokal.
Pada sesi kedua, Pembahasan berfokus pada bagaimana menuju industri fast fashion yang sehat. Dalam menciptakan industri fast fashion yang sehat berkaitan dengan bagaimana kesejahteraan pekerja dan kualitas jam kerja dapat dipertanggungjawabkan industri dalam pelaksanaannya.
Kasus-kasus seperti ini memang terjadi pada industri garmen, namun jarang diketahui. Sebagai salah satu solusi. Forum juga mengungkapkan edukasi sejak dini sebagai upaya preventif yang diberikan kepada owner maupun para pekerja, sehingga konflik bisa diminimalisir.
Poin yang cukup menarik dalam pembahasan ini ialah, berkaitan dengan program CSR yang diberikan perusahaan. Bhewarta, salah satu juri kompetisi Communication Awards, mengungkapkan, program CSR dianggap sebagai sebuah formalitas belaka. Hal ini disebabkan karena persentase yang diberikan sangat kecil. “Contohnya, Sri Teks yang menghasilkan kain berkualitas tinggi dan memperhatikan kesejahteraan pekerja, kalah oleh industri rumahan yang menggunakan bahan murah dan berbahaya," tutur Bhewarta.
Selain itu forum juga menyatakan bahwa pemerintah berperan penting untuk hadir dalam menyelesaikan permasalahan regulasi agar berjalan dengan efektif. Dalam hal ini, kolaborasi antara pemerintah, owner bisnis, hingga masyarakat diperlukan agar tetap memberikan rasa nyaman dan keadilan bagi para pekerja.
Sehingga nantinya, industri ini tidak hanya menguntungkan satu pihak saja, namun diharapkan menguntungkan kedua belah pihak.
Dilanjutkan oleh Galih, Gubernur BEM Fisipol UMY, yang menyampaikan pentingnya peran dan gerakan yang dilakukan masyarakat sehingga mampu memberikan desakan kepada pihak terkait untuk memberikan kesejahteraan kepada para pekerja. Dengan demikian, sesi diskusi kedua ditutup dengan mengarahkan peran kolaborasi antara masyarakat, pemerintah dan owner garmen sebagai penggerak utama perubahan di sektor fast fashion. Dengan adanya kolaborasi tersebut, diharaplkan para pekerja industri fesyen mampu mendapatkan perlindungan, termasuk upah yang layak dan lingkungan kerja yang aman.
Sesi ketiga sekaligus sebagai sesi terakhir membahas apakah fast fashion bisa diberhentikan melalui kebijakan atau komitmen yang sudah dibangun pada sesi diskusi sebelumnya. Forum beranggapan bahwa fast fashion merupakan sebuah tren yang terus berjalan, sementara kita sebagai konsumen harus memiliki kesadaran untuk mengurangi dampak fast fashion itu sendiri.
Menurut Angki selaku peserta forum, fast fashion lahir ketika ada konsumen. “Oleh karena itu kita sebagai konsumen harus bisa memilih dan memilah," tutur Angki.
Pada dasarnya forum juga sepakat bahwa mereka tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan fast fashion, dan bagaimana caranya. Peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat atau konsumen ialah menanamkan edukasi sejak dini sebagai upaya preventif dan sehingga menciptakan kesadaran akan dampak dari fast fashion. Selain itu berkaitan dengan pemilihan produk, pendekatan slow fashion bisa menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif tersebut.
Sebagai penutup, Tombeng selaku moderator memberikan kesimpulan atas diskusi yang berjalan kurang lebih selama 120 menit tersebut. Fast fashion memiliki dampak yang merugikan sehingga kita harus memilih dengan bijak guna menghindari dampaknya. Kesadaran akan dampak negatif fast fashion terhadap lingkungan dan sosial mengarahkan masyarakat dalam memilih dan menggunakan produk fesyen dengan bijak.
“Dengan mempertimbangkan komponen yang digunakan, terutama dalam konteks fast fashion ini tidak hanya kuantitas yang penting, namun bahan yang digunakan juga," tutur Tombeng sebelum menutup sesi diskusi.