REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Ditengah riuhnya fenomena flexing (pamer terkait kemewahan dan keberhasilan) di media sosial, ada persoalan yang berpotensi menjadi fenomena gunung es di masa depan yaitu kesenjangan sosial dan spiritual di kalangan anak-anak muda di Indonesia. Akibatnya, mereka menjadi kehilangan eksistensi dalam dunia yang kian menjadi global village seperti saat ini.
Melihat fenomena ini, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menginisiasi Gerakan Turun ke Sekolah (GTS), sebuah wadah bagi anak muda untuk bisa ikut berkontribusi dalam perubahan pendidikan di Indonesia dengan cara turun ke sekolah. Founder GSM mengungkapkan salah satu tujuan GTS adalah untuk mengatasi kesenjangan sosial dan spiritual di kalangan anak muda.
"Kesenjangan spiritual, yaitu adanya gap antara dirinya di saat ini dengan dirinya di masa depan. Bahwa hilangnya jati diri ini berakibat pada anak muda yang kehilangan atas eksistensi diri dan kemampuan untuk mengendalikan diri," kata Rizal dalam konferansı pers usai acara 'Farewell Party GTS Batch 2' di Sleman, Sabtu (3/8/2024).
Sementara itu, menurut Rizal, kesenjangan sosial terjadi ketika ada perbedaan antara dirinya dengan orang lain yang biasanya kerap muncul. Contoh kesenjangannya adalah ketika di dalam rentang umur yang sama terdapat orang-orang yang seakan bernasib amat baik dengan kekayaan materialnya, tetapi di sisi lain juga ada mereka yang dianggap kurang beruntung dan harus berjuang secara keras tanpa jaminan akan berujung pada hasil yang sama.
"Dampaknya adalah timbul polarisasi, bullying, kekerasan, hingga keterbelahan sosial yang parah di masyarakat kita," katanya.
Efeknya, adalah anak muda yang semakin stres, kehilangan energi hidup hingga tingkat bunuh diri yang semakin tinggi. Contohnya, seperti kasus guru muda SMK yang melakukan aksi bunuh diri, tetapi terlebih dulu membuat pesan umum ke masyarakat untuk tidak mengalami permasalahan hidup seperti dirinya.
Rizal menambahkan bahwa dunia pendidikan yang kurang kritis untuk mengajarkan cara berpikir untuk dapat memilah, memaknai, dan merefleksikan akan membuat siswa-siswanya semakin tidak eksis di tengah berkembangnya global village, juga mampu memperparah persoalan deindividuasi di tengah batas negara-negara dunia yang semakin tipis.
Saat mendiskusikan mengenai hal yang dapat dikembangkan untuk menjembatani kesenjangan sosial dan spiritual, Rizal menyadur apa yang disampaikan oleh Alfred Adler, yaitu social interest. Hingga, Ia terpikir untuk menyalurkan sumber daya anak muda yang potensial untuk turun ke sekolah.
"Mengajak anak turun ke sekolah dapat membuat mereka merasa beruntung, bahwa akan ada penerimaan di dalam dirinya, sehingga dapat menemukan kebermaknaan yang mampu meningkatkan eksistensinya," kata Rizal.
Rizal juga menyoroti mengenai adanya kesenjangan ekologi. Hal ini menyoal pada keberlanjutan dari alam kita agar senantiasa terawat dan terjaga. Karena apa pun yang dipersiapkan anak-anak muda sekarang untuk masa depannya tidak akan ada artinya jika lingkungan alam kita tidak lestari.
"Harapannya, anak muda mampu menjadi pemimpin tidak hanya untuk diri, tetapi untuk masa depan bersama. Mereka yang ditanamkan agar memiliki konsisten dan komitmen yang kuat untuk terus bergerak di aktivitas sosial dengan harapan menjalar pada upaya membenahi permasalahan lingkungan," kata Rizal.
Salah satu peserta GTS, Ilham Ramdani, yang menjadi salah satu relawan untuk GTS di SD BOPKRI Wonosari, awalnya sempat merasakan keraguan dan bingung mengenai apa yang harus dilakukan. Namun, pada akhirnya ide-ide bermunculan setelah mengikuti rangkaian diskusi dengan kawan lainnya, hingga ia ketagihan untuk berkontribusi secara sosial.
"Perasaan ragu hilang seketika setelah melihat wajah para penerus generasi di masa yang akan datang. Melihat senyuman yang manis, tawa, serta keimutan anak-anak membuat saya menjadi semangat dan antusias untuk melaksanakan kegiatan yang direncanakan. Sampai kita tidak merasakan adanya capek karena digantikan oleh kegembiraan," ungkap Ilham
Program GTS juga membuat Ilham semakin ingin untuk menyebarkan senyum kebahagiaan dalam belajar, hingga ia kian semangat untuk terus meningkatkan kemampuannya dalam mengajar. Perasaan inferioritas menjadi tergeser oleh tekad yang penuh kemuliaan.
"GTS menjadi batu lompatan kami untuk memahami pendidikan di Indonesia saat ini. Dan hal itu membuat kami memikirkan masa depan. Sebagai calon-calon pemimpin masa depan kami akan sebarkan gerakan yang baik ini demi kemajuan pendidikan di Indonesia," ujar ketua Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta itu.
Sementara itu, relawan GTS lainnya, Andrea, merasa apa yang diajarkan di sekolah saat ini kurang relevan dengan realistas yang ada. "Harus ada perubahan terkait metode bagaimana sebuah materi disampaikan ke anak-anak muda. Harus ada semacam co-creation sehingga ide-ide kreatif anak-anak muda bisa tersalurkan," kata siswa SMAN 2 Magelang itu.
Saat ini, GTS telah dilaksanakan sebanyak dua batch. Batch I pada bulan Maret-April 2024 dan Batch II pada bulan Juli 2024. Sejauh ini, GTS telah mampu mengajak sebanyak 330 anak muda dan berdampak pada lebih dari 1.000 siswa di sepuluh daerah yang meliputi Sleman, Kulonprogo, Gunungkidul, Klaten, Solo, Magelang, Kebumen, Cirebon, Tangerang Selatan, dan Bali.
Di dalam penyelenggaraan GTS ini, GSM tidak hanya melibatkan anak muda, melainkan juga komunitas-komunitas yang ada di setiap daerah, baik komunitas GSM daerah maupun komunitas eksternal. Di antaranya adalah Millennial Bergerak, Sumelang Community, HMP - PBI UNU Yogyakarta, Duta Kampus UIN Sunan Kalijaga, Kagem Yogyakarta, dan Rumah Impian Yogyakarta.