Selasa 05 Nov 2024 14:22 WIB

Perang Rusia-Ukraina Masih Berlangsung, Pengamat Serukan Tindakan untuk Keadilan

Pemerintahan Prabowo dapat membantu menangani isu-isu krusial.

Dalam foto yang dirilis Layanan Pers Kementerian Pertahanan Rusia pada Jumat, 21 Juni 2024, tentara Rusia menembakkan senjata antipesawat di lokasi yang dirahasiakan di Ukraina.
Foto: Layanan Pers Kementerian Pertahanan Rusia Via
Dalam foto yang dirilis Layanan Pers Kementerian Pertahanan Rusia pada Jumat, 21 Juni 2024, tentara Rusia menembakkan senjata antipesawat di lokasi yang dirahasiakan di Ukraina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Invasi Rusia di Ukraina terus memberikan dampak kemanusiaan yang mendalam, dengan meningkatnya laporan pelanggaran hak asasi manusia. Berdasarkan data dari Kantor Ombudsman Ukraina, lebih dari 25 ribu warga Ukraina telah menjadi korban penahanan sewenang-wenang oleh Rusia.

Jumlah ini terus bertambah dengan kondisi mengkhawatirkan terkait penghilangan paksa dan penahanan tanpa proses hukum yang adil. Masalah ini menjadi sorotan utama dalam Konferensi Menteri tentang Dimensi Kemanusiaan Rencana Perdamaian 10 Poin Ukraina yang diadakan pada 30-31 Oktober 2024.

Pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto kini diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang menunjukkan kontribusi Indonesia dalam merespons krisis kemanusiaan ini. Dengan berpartisipasi dalam upaya perdamaian yang dipimpin Ukraina, seperti konferensi menteri tersebut, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo dapat membantu menangani isu-isu krusial, seperti pemulangan anak-anak Ukraina yang dibawa paksa ke Rusia dan mediasi pertukaran tahanan.

Langkah ini dinilai akan memperkuat citra kemanusiaan Indonesia di kancah internasional dan menegaskan kontribusi positifnya dalam memperjuangkan hak asasi manusia di Ukraina.

Manajer Senior Program di Center for Civil Liberties yang berbasis di Kyiv, Natalia Yashchuk, juga menekankan perlunya tindakan tegas untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di Ukraina.

Natalia mengajak dukungan dari komunitas internasional, termasuk Indonesia, untuk segera menghentikan kekerasan yang terus berlangsung.

"Kami telah mendengar kisah-kisah memilukan dari para tahanan dan menemukan puluhan ruang penyiksaan serta kuburan massal setelah pembebasan wilayah pendudukan. Oleh karena itu, dukungan dari komunitas global harus ditingkatkan agar pelanggaran ini segera berakhir," ungkap Natalia.

Natalia membagikan kisah seorang dokter bernama Olena Yuzvak, yang bersama keluarganya ditangkap oleh pasukan Rusia. Suami Olena ditembak di kaki, sementara Olena sendiri diinterogasi dengan kantong di atas kepalanya sebelum dibebaskan keesokan harinya.

Namun, suami dan anaknya tetap ditahan di Rusia. Meskipun suaminya akhirnya dibebaskan setelah satu bulan, putra Olena masih ditahan di Rusia.

Pengamat Indonesia, khususnya bagi konflik negara Rusia dan Eropa Timur sekaligus dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair), Radityo Dharmaputra, menyatakan keprihatinannya terhadap penahanan warga sipil Ukraina oleh Rusia. Radityo menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional.

"Tindakan Federasi Rusia dalam menahan warga sipil secara tidak sah merupakan pelanggaran hukum serius yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar hukum internasional yang wajib dihormati setiap negara,” ujar Radityo beberapa waktu lalu.

Radityo menegaskan, tindakan ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga berpotensi merusak stabilitas sosial di Ukraina karena dampak jangka panjang bagi para korban dan keluarga mereka.

"Penahanan ini berpotensi merusak tatanan sosial di Ukraina, dan komunitas internasional harus bersatu menekan Rusia agar menghentikan kekerasan ini dan mematuhi hukum internasional demi keadilan dan perdamaian dunia," katanya.

Pada pertemuan baru-baru ini di Kyiv, delegasi multi-partai dari Parlemen Kanada yang dipimpin Ketua DPR Greg Fergus bertemu dengan Center for Civil Liberties, menegaskan pentingnya kerjasama internasional untuk membebaskan warga Ukraina yang ditahan di Rusia.

Radityo mendukung upaya ini dan menyoroti pentingnya solidaritas internasional untuk menghentikan pelanggaran yang sedang berlangsung.

"Penting juga untuk membangun solidaritas di antara negara-negara yang pernah menjadi korban imperialisme dan kolonialisme, baik oleh negara Barat maupun negara non-Barat seperti Rusia dan China," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement