Oleh : Aad Satria Permadi, Ph.D. (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS))
REPUBLIKA.CO.ID, Perubahan sikap orang tua terhadap guru berubah dalam beberapa tahun belakangan. Dulu, ketika saya masih SD di tahun 90-an, orang tua sangat menghormati guru. Orang tua menganggap guru adalah pihak yang punya jasa besar mendidik anak-anak mereka di sekolah. Saking besarnya penghormatan orang tua kepada guru, sampai-sampai apa pun laporan buruk anak tentang gurunya, orang tua tidak akan dipercaya.
Pada tahun-tahun itu, kalau ada di antara kami yang dihukum oleh guru, maka tidak ada yang berani mengadu ke orang tua. Karena hasilnya sudah jelas, hukuman akan ditambah oleh orang tua kami.
Orang tua kami kala itu punya pola pikir, kalau sampai anaknya dihukum oleh guru, pasti karena anaknya bersalah. Dan itu bikin malu orang tua. Maka, orang tua biasanya menambah hukuman kepada anaknya karena sudah bikin malu keluarga. Kalau sudah dijewer guru, maka jangan sampai ketahuan orang tua. Nanti pasti kena jewer tambahan dari orang tua.
Namun, kondisi itu berubah dalam beberapa tahun belakangan. Orang tua mulai berubah sikapnya terhadap guru. Banyak orang tua yang mulai kritis terhadap guru yang mendidik anaknya di sekolah.
Ada yang berlagak seperti pengawas, yang memata-matai cara guru mendidik anaknya. Kalau ada salah sedikit, protesnya ke mana-mana. Pada titik ekstrem, ada yang sampai melukai, dan melaporkan guru ke pihak kepolisian karena dianggap melakukan kekerasan kepada anaknya.
Respons orang tua tersebut berdasarkan laporan dari anak mereka yang mengaku dihukum oleh gurunya. Kalau zaman dulu, melaporkan diri telah dihukum guru sama artinya dengan mendapatkan hukuman tambahan dari orang tua.
Beberapa tahun belakangan, siswa-siswa seakan paham bahwa cara untuk membalas sakit hati atas hukuman guru adalah dengan melaporkannya kepada orang tua mereka. Nanti biar diurus secara fisik atau secara hukum oleh orang tua mereka. Bahkan ada kecurigaan, kriminalisasi guru juga sebagai kesempatan beberapa oknum orangtua untuk memperoleh keuntungan finansial. Guru akan dituntut secara hukum, namun jika ingin lepas dari tuntutan harus membayar 'uang damai' yang cukup besar.
"Puncak Gunung Es" Perubahan Cara Pandang
Kasus terbaru yang mencuat di media sosial adalah kasus guru Supriyani honorer SD 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Beliau dilaporkan orang tua siswa ke polisi atas tuduhan penganiayaan. Kasus ini memicu kemarahan masyarakat, terutamanya PGRI Konawe Selatan.
Pada intinya, opini yang berkembang di masyarakat adalah guru Supriyani dikriminalisasi oleh orang tua siswa yang berprofesi sebagai polisi. Apalagi ada isu tuntutan uang Rp 50 Juta kepada Supriyani sebagai ganti rugi. Tentu masyarakat semakin panas ketika tahu bu guru honorer bermusuhan dengan keluarga polisi yang ujung-ujung duit Rp 50 Juta.
Pada bulan Januari 2024, seorang guru SD Plus Darul Ulum, Jawa Timur bernama Khusnul Khotimah ditetapkan sebagai tersangka atas tuntutan kelalaian yang mengakibatkan cacat permanen pada siswa. Kala itu, ada seorang siswa yang bermain sapu di kelas saat jam kosong. Namun, pecahan sapu mengenai seorang siswa lain yang mengakibatkan kerusakan pada mata siswa itu. Pada saat itu, Bu guru Khusnul Khotimah tidak berada di kelas. Singkat cerita, beliau dituntut orangtua siswa karena dianggap lalai dalam mengawasi siswa.
Pada tahun 2023, ada guru SMAN 7 Rejang Lebong, Bengkulu, dianiaya oleh wali siswa. Guru bernama Zaharman berusia 58 tahun itu mengalami kebutaan setelah mata kanannya dikatapel oleh EJ, si wali siswa itu. Pada tahun 2016, seorang guru Raden Rahmat, Balongendo, Sidoarjo, juga menjadi korban kriminalisasi orang tua siswa. Pak Sambudi, nama guru tersebut, dilaporkan karena mencubit siswanya yang tidak melakukan kegiatan Shalat Dhuha. Padahal kegiatan Shalat Dhuha itu adalah program sekolah.
Fenomena di atas adalah puncak gunung es dari fenomena perubahan cara pandang orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya. Fenomena tersebut mencerminkan dinamika sosial-psikologis yang menarik untuk ditelaah. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kekompakan yang Hilang: Dulu dan Sekarang
Ada sebuah filosofi pendidikan menarik, “it takes a village to raise a child” (diperlukan satu desa/banyak orang untuk membesarkan seorang anak). Filosofi yang old school ini merupakan filosofi pendidikan yang dipakai zaman dulu.
Pendidikan dipandang sebagai proses ekologis dan team work dari banyak orang (satu desa). Kalau dalam konsep pendidikan Indonesia, sering disebut dengan tripusat pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya bertanggung jawab atas pendidikan anak.
Dulu, orang tua, guru, dan masyarakat se-iya se-kata dalam mendidik anak. Dalam kondisi ekstrem, orangtua mendukung hukuman yang diberikan guru kepada anaknya. Guru memberikan Pekerjaan Rumah (PR), orangtua memotivasi agar anaknya rajin mengerjakan PR di rumah. Tentu dengan kemampuannya masing-masing.
Tokoh masyarakat membuat program jam wajib belajar masyarakat. Pemerintah kala itu, zaman Orde Baru, mendirikan satu televisi khusus pendidikan. Namanya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Acara hiburan anak-anak dibatasi, seminggu sekali. Program-program orang dewasa dan anak-anak dipisahkan secara jelas. Tidak ada orang tua yang marah karena anaknya diberi PR yang banyak. Apalagi sampai datang ke sekolah dan mempersekusi gurunya. Tripusat pendidikan tahun 90an dan tahun-tahun sebelumnya, relatif kompak mendidik anak.
Costumer Service Mentality
Semakin lama, kondisi ekonomi semakin memburuk. Pendidikan tidak lagi semurah dulu. Daya beli masyarakat semakin menurun. Dalam kondisi ekonomi yang semakin sulit, cara pendang orang tua terhadap pendidikan pun berubah. Biaya pendidikan dianggap setara maknanya dengan jual beli. Orangtua merasa sebagai konsumen, dan sekolah adalah produsen pendidikan. Orang tua membayar, dan sekolah memberikan pelayanan prima.
Kalau sudah membayar tapi malah tidak dilayani, maka itu namanya kecurangan. Orang tua merasa sebagai pelanggan yang harus dipuaskan oleh proses pendidikan. Inilah yang disebut dengan Costumer Service Mentality di dunia pendidikan.
Saya secara generalis, melihat paradigma pendidikan yang diyakini oleh orang tua juga berubah. Semakin ke sini, orang tua meyakini bahwa, semakin “lembek” mendidik anak, semakin baik. Pola pendidikan yang “tegas dan keras”, sangat tidak disukai oleh orang tua zaman sekarang. Ada keyakinan kolektif di kalangan orang tua bahwa anak harus dididik dengan lemah lembut. Tidak seperti dirinya yang dididik dengan “tegas dan keras” waktu dulu.
Pemahaman yang setengah-setengah dan out of context tentang proses pendidikan memunculkan ekspektasi berlebihan terhadap keamanan emosional anak. Orang tua cenderung menganggap segala bentuk ketegasan dan kekerasan membahayakan psikologis anak. Seakan-akan, anak akan jadi gila di masa depannya jika mendapatkan pendidikan yang tegas dan keras. Akhirnya, konsep kedisiplinan di sekolah, menjadi tidak sesuai dengan ekspektasi mereka sebagai konsumen pendidikan.
Instant Gratification Culture
Kemajuan teknologi membentuk merespons segala sesuatu dengan instan. Apalagi jika masyarakatnya punya mental Costumer Service. Tahunya hanya dipuaskan saja. Yang mereka tahu, kalau sudah membayar harus dipuaskan. Tidak puas dengan layanan Go Food? Langsung saja kasih rating bintang 1! Tidak puas dengan driver ojol? Langsung komplain ke costumer service-nya! Tidak perlu mikir dan empati. Tidak perlu tahu konteks mengapa pelayanan menjadi tidak sesuai ekspektasi. Pokoknya, konsumen tidak puas, adalah kesalahan penyedia layanan. Konsumen adalah raja, walaupun tidak pernah ada raja yang ngojek!
Mindset seperti ini tanpa sadar terbawa dalam dunia pendidikan. Orang tua menuntut “kepuasan pelanggan” yang instan kepada sekolah. Orang tua cenderung menghukum guru yang dianggap salah. Laporan anaknya yang merasa tidak nyaman dengan “pelayanan” guru cukup menjadi alasan untuk menghukum guru. Tidak perlu tahu alasan, konteks, apalagi paradigma penididikan yang diterapkan oleh sang guru.
Pokoknya, costumer kecewa adalah kesalahan yang layak dihukum! Caranya bermacam-macam, ada yang langsung datang dan melakukan kekerasan fisik kepada guru, ada juga yang memilih cara lain. Keluh kesah anak yang mengaku dianiaya gurunya itu, diviralkan di media sosial. Guru dan sekolah dihabisi karakternya beramai-ramai di dunia maya. Cara lain yang lagi nge-trend adalah melaporkannya ke polisi. Cara ini dianggap memiliki potensi keuntungan ganda: guru menjadi takut, sekaligus mendapatkan 'uang damai'. Semua itu lebih diminati oleh sebagian orangtua, daripada melakukan dialog yang konstruktif.
Padahal, sejatinya pendidikan tidak dapat memberikan kepuasan instan. Pendidikan adalah proses yang panjang. Bahkan never ending process. Prosenya saja, tidak selalu dilalui dengan hal-hal yang membawa kepuasan. Lebih banyak proses-proses yang tidak menyenangkan untuk menuju kesuksesan. Oleh sebab itu, Ulama seperti Imam Syafi’i menggambarkan pendidikan sebagai proses yang melelahkan: "Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan."
Trauma Dump dan Proyeksi Psikologis
Analisis personal-klinis yang menarik dari perilaku orang tua di atas, adalah tentang trauma dan proyeksi mereka sendiri. Orang tua yang pernah mengalami trauma pendidikan, cenderung over-protective. Orang tua ini, biasanya memproyeksikan pengalaman traumatisnya pada apa yang dialami anaknya di sekolah. Sehingga laporan anaknya yang merasa tidak nyaman dengan gurunya, akan mengingatkan orang tua kepada masa lalunya yang kelam dahulu.
Ketika memori-memori traumatis itu muncul, maka orang tua akan sulit berpikir rasional. Alih-alih dapat berpikir jernih, emosi negatif muncul dan mendahului pikiran rasional. Laporan anaknya itu terasa relate dengan pengalamannya dahulu. Laporan anak menjadi terasa sangat kredibel dan trusted. Kebencian terhadap masa lalu yang lama dipendam, tiba-tiba mencuat dan menghasilkan reaksi yang berlebihan.
Kondisi di atas diperparah dengan kemajuan teknologi dan media sosial. Cerita atau berita negatif tentang guru, dapat dengan cepat tersebar luas. Bagi orang tua yang dulu pernah mengalami trauma pendidikan, berita-berita itu memperparah trauma mereka. Semakin besar kebencian mereka terhadap guru dan sekolah yang sudah melukai anaknya, seperti yang pernah ia alami. Bagi orang tua yang belum pernah mengalami trauma pendidikan, mereka akan menjadi seperti 'tempat sampah (dump) trauma'. Jiwa mereka diisi dengan ketakutan-ketakutan yang dialami oleh orang lain. Lama kelamaan, keadaan mereka menjadi sama dengan orangtua yang mengalami trauma pendidikan masa lalu. Membenci, tidak dapat berpikir rasional, dan terdorong untuk langsung menghukum sekolah dan guru.
Bukan hanya Guru, Orang Tua dan Anak Kena Dampaknya
Maraknya kekerasan dan kriminalisasi orang tua terhadap guru, menimbulkan dampak buruk bagi guru, orang tua, dan anak. Bagi guru, tentu akan membawa trauma dalam mengambil keputusan-keputusan pedagogis.
Guru akan mengalami sindrom “walking on eggshell” dalam mendidik. Guru menjadi sangat takut untuk memberikan proses-proses yang menantang. Guru takut berinovasi karena takut mendapatkan protes dari murid. Guru menjadi pelayan kepuasan murid. Akhirnya, murid mengendalikan guru. Murid yang menggurui guru. Dengan kata lain, guru kehilangan otoritas profesionalnya.
Makanya, akhir-akhir ini viral banyak video Tiktok yang menggambarkan guru yang 'cuek' dengan perilaku siswanya. Guru digambarkan tidak menghiraukan siswa yang berkelahi atau yang tidur di kelas. Semua dilakukan karena takut salah. Seperti itulah gambaran 'berjalan di atas cangkang telur'.
Orang tua dan anak juga dirugikan jika melakukan kekerasan dan kriminalisasi kepada guru. Orang tua kehilangan kesempatan belajar tentang hakikat proses pendidikan. Padahal dengan mengedepankan proses dialogis, orangtua berkesempatan memperoleh pemahaman tentang pendidikan yang prosesnya panjang dan berliku. Orang tua dapat menjadi lebih bijaksana dan termotivasi untuk mengambil tanggung jawab pendidikan bersama guru di sekolah. Namun, dengan mengambil jalan menyerang guru, secara tidak sadar orangtua sedang mengajarkan quick fix mentality (mentalitas ingin segala sesuatu cepat selesai).
Di masa depan, anak-anak yang memiliki quick fix mentality akan menjadi beban negara, masyarakat, dan beban orangtuanya sendiri. Anak tidak akan dipakai oleh masyarakat karena mentalitas yang tidak tahan dengan proses. Mentalitas yang ingin yang cepat-cepat saja. Misalnya punya keinginan, anak akan memilih jalan pintas daripada jalan yang berproses. Jika ditawari kerja atau judi online, maka anak quick fix mentality cenderung memilih judi online.
Di masa yang akan datang, Indonesia berpotensi kehilangan pemuda-pemuda bermental pejuang. Hal ini terjadi jika guru takut mendidik dan orangtua meneror pendidik. Anak terbiasa dengan hal-hal instan, sehingga tidak pernah tahu makna berproses dan berjuang. Capek sedikit, langsung galau dan butuh healing katanya. Maunya yang bahagia-bahagia saja. Sampai sudah tua pun masih menuntut pendidikan yang menyenangkan.
Padahal konsep pendidikan yang menyenangkan itu untuk anak-anak kecil. Konsep pendidikan orang dewasa sebaiknya adalah pendidikan yang membentuk karakter pejuang. Dan karakter pejuang hanya dapat dibentuk dengan proses yang lambat, bukan yang cepat. Paling tidak, begitulah kata Ratan Tata, konglomerat India yang beberapa hari yang lalu meninggal dunia. Katanya, “slow success creates character, instant success creates ego”.
Refleksi Akhir: Mengembalikan Kehormatan Guru
Guru adalah profesi terhormat. Rasa hormat orang tua kepada guru harus dilandasi pemahaman dan kepercayaan. Oleh karenanya, perlu ada dialog dan pertemuan rutin, terutamanya antar guru dan orang tua. Tujuan pertemuan itu untuk membentuk mindset yang sama tentang hakikat pendidikan dan proses-prosesnya.
Mindset utamanya adalah guru dan orangtua sama-sama pendidik. Guru mendidik di sekolah, sedangkan orang tua mendidi di rumah. Orang tua dan guru adalah satu team pendidik! Keduanya harus memahami, bahwa pendidikan adalah proses yang panjang. Kadang prosesnya pun tidak selalu menyenangkan.
Pendidikan juga tidak boleh dianggap sebagai proses transaksional ekonomis. Biaya pendidikan bukan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan orang tua dan siswa. Biaya pendidikan adalah biaya komitmen bersama antara sekolah dan orang tua sebagai team pendidik. Di sekolah, orang tua mempercayakan anaknya dididik oleh guru. Di rumah, guru mempercayakan siswanya dididik oleh orang tua.
Jika demikian prosesnya, maka kehormatan guru dan orangtua akan kembali pada tempatnya yang semestinya: keduanya adalah pendidik!